Monday, November 30, 2015

Impian Serdadu Kecil 1938

Namaku Yofa. Saat ini aku berumur 10 tahun. Aku lahir pada tanggal 30 Juni 1938. Aku memiliki papa yang tegas, rajin, kuat, bertubuh tinggi, tegap, berkulit coklat dan keren! Tidak cukup kata-kata untuk menggambarkan papaku. Papa bekerja di percetakan. Jika bekerja papa akan berpakaian rapi. Papa suka sekali memakai setelan safari.

Di hari libur, papa akan mengajak kami sekeluarga berjalan-jalan. Papaku terampil membuat peralatan rumah. Dia bisa membuat meja dan kursi. Bahkan jam dinding! Bentuknya antik, tapi kami semua menyukainya. Kami memajang jam dinding itu diruang makan. Selain keluargaku tidak ada yang memiliki jam seperti itu.

Kami 7 bersaudara. Rumah kami cukup besar namun dengan 4 anak laki-laki dan 3 anak perempuan yang berlarian kesana kemari, rasanya tidak cukup menampungnya. Untungnya halaman rumah kami sangat luas dan banyak ditumbuhi pohon-pohon. Kami sering berlarian lalu bermain petak umpet di sana. Kami tinggal sekamar dengan ranjang besi kuno yang sangat panjang. Kasurnya berjajar untuk 7 anak. Ketika kosong aku akan berguling dari ujung ke ujung. Rasanya tidak sampai-sampai. Setelah itu adik-adikku akan berebutan mencobanya.

Kami keluarga besar yang bahagia. Oh, iya.. aku juga punya seorang mama. Mamaku berkulit putih. Ia sangat cantik dan lembut. Di pagi hari beliau akan membangunkan kami dengan ciuman mesra. Masing-masing di pipi kami. Mama sangat mencintai kami dan papa. Karena itu mama gemar membuat makanan enak untuk kami. Kami yakin mama adalah koki terhebat di dunia. Mama teman terbaik yang selalu ada untuk kami setiap saat. Ia yang mengajari kami dengan sabar. Saat hari-hariku terasa berat aku akan mencari mama.

Akhir-akhir ini entah kenapa papa sering mengeluh merasa pusing dan tidak enak badan. Aku dengar papa sakit diabetes. Aku belum pernah mendengar nama penyakit ini sebelumnya. Hari itu aku berjalan kaki pulang sekolah. Tapi mama tidak menyambutku di rumah. Kami mencari dan memanggil kesana kemari. Tidak ada jawaban! Lalu adikku Erisa melihat secarik kertas di atas tudung saji. Kami membaca bersama-sama.

Dari : Mama
Untuk : kalian semua

Halo sayangku, hari ini mungkin mama pulang agak sore. Kalian jangan bertengkar ya? Yofa, ada nasi dan lauk pauk di atas meja, tolong awasi adik-adikmu supaya makan. Mama akan pulang secepatnya. Jangan lupa cuci tangan sebelum makan. Setelah itu kerjakan PR kalian.

Mama sayang kalian semua. Dengan cinta...

Hmm.. aku berpikir keras. Kemana ya mama? Tidak seperti biasanya mama tidak menunggu kami pulang sekolah? Makin berpikir makin pusing. Aku tidak tahu jawabannya. Ya sudahlah, lebih baik menuruti kata mama. Aku segera menyiapkan adik-adikku untuk makan.

Hari ini rasanya panjang sekali tanpa kehadiran mama. Kami bosan setengah mati. Tidak ada yang sibuk mengatur-ngatur untuk tidur siang, tidak ada yang mengajari untuk membuat pr, atau mencium pipi kami sebelum tidur.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Mama belum juga pulang! Hmm.. seharusnya papa sebentar lagi pulang. Biasanya papa pulang jam 05.00 sore. Semoga kali ini papa pulang sedikit lebih awal. Setelah mandi kami berkumpul di ruang keluarga sambil menunggu mama dan papa.

Sudah jam 06.00 sore sekarang. Perut kami mulai lapar. Mama dan papa belum juga pulang. Apa mungkin mereka pergi bersama? Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 malam, aku mendengar suara kunci berputar di pintu depan. "Mama pulang.. papa pulang...", aku berseru kegirangan. Kami berlari ke pintu depan. Ketika pintu terbuka mama terlihat berdiri dengan kaku. Kami segera memeluk mama, "Mama.... mama... kemana hari ini? Kenapa lama sekali? Mana papa? Kami pikir mama pergi bersama papa? Kami sudah lapar sekali maa..?" Kami terus menghujani mama dengan banyak pertanyaan. Tetapi mama cuma tersenyum sambil cepat-cepat menuju ke dapur. Mama berkata, "Sebentar ya sayang, mama siapkan makan malam dulu karena kalian pasti sudah sangat lapar."

Kami duduk berkumpul mengelilingi meja makan sambil melihat mama memasak. Mama memang hebat, kira-kira 15 menit kemudian makanan telah siap. Nasi goreng telor, terlihat sederhana namun ini sangat enak. Kami segera makan dengan lahap sementara mama membuka percakapan. "Hari ini mama mengantar papa ke dokter karena tadi papa diantar pulang oleh temannya. Ia tidak enak badan. Lalu mama dan papa ke dokter bersama-sama. Setelah papa selesai di periksa, dokter bilang kadar gula papa terlalu tinggi. Jadi dia tidak boleh pulang. Setelah sehat papa baru boleh pulang."

"Oh, jadi papa sakit? Padahal kami lihat papa sangat sehat kemarin. Kadar gula tinggi berarti kebanyakan makan permen ya, Ma? Aku baru tau kebanyakan makan permen bisa sakit." Mama tersenyum sambil mengelus kepalaku dengan lembut. "Ayo kita doakan papa cepat pulang ke rumah ya?", ajak mama. Kami mengangguk setuju.

Jam 09.00 malam mama mengantar kami tidur. Sambil menyelimuti kami satu per satu mama menceritakan kisah dongeng bawang putih. Adik-adikku telah tidur nyenyak. Aku memejamkan mata karena aku tahu mama pasti lelah seharian ini. Aku juga ingin mama tidur nyenyak malam ini. Melihat anak-anak tidur mama mematikan lampu dan keluar kamar.

Hari telah larut malam, Aku masih terjaga dan mama belum juga tidur? Penasaran dan ingin tau dengan siapa mama berbicara. Aku turun dari ranjang dan mengintip diantara sela pintu. Ternyata Tante Mirna tetangga sebelah rumah kami. Mama memang sudah lama berteman dengan Tante Mirna. Ia adalah wanita yang baik hati. "Iya Mbak Mir, waktu diperiksa gula darahnya sangat tinggi sampai 700 dan itu terjadi mendadak.", nada mama terdengar sangat kuatir. "Kata dokter, harapannya sangat tipis.", mama mulai menangis. Tante Mirna menenangkan mama.

Mendengar semuanya itu, hatiku tidak tenang. Aku sangat kuatir dengan keadaan papa. "Tuhan, Engkau tahu aku jarang meminta apapun padamu. Tapi Tuhan untuk kali ini kumohon dengarkan dan kabulkan permohonanku Tuhan. Jagalah dia dan kembalikan ke rumah kami. Aku percaya Engkau pasti melakukannya Tuhan. Amin." Aku percaya Tuhan akan menyembuhkan papa. Setelah berdoa hatiku lebih tenang rasanya. Aku mencoba tidur karena besok aku harus bangun pagi berangkat ke sekolah.

Pagi hari ini aku terbangun. Tetapi kali ini mama tidak membangunkanku. Aku melangkah keluar kamar. Dengan langkah ragu aku memandangi orang-orang di dalam rumah. Mereka adalah orang-orang sekitar sini. Namun mengapa hari ini mereka berkumpul dirumahku? Tidak lama kemudian terjawab sudah. Aku melihat mama menangis tersedu-sedu, sementara beberapa orang berbicara menghiburnya.

"Jangan terus bersedih, ingat masih ada si kecil dalam perutmu yang harus di jaga baik-baik. Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan kepergiannya..." Deg! Rasanya jantungku berhenti berdetak. Aku berteriak kepada mama, "Siapa Ma yang meninggal? Bukan papa kan? Mengapa semua orang berkumpul di sini? Papa masih di rumah sakit kan?" Lalu aku melihat sebuah peti ada di ruang tengah. Aku terkejut. Dengan langkah pelan kuhampiri peti itu dan memikirkan kemungkinan terburuk, yaitu melihat papa terbujur di sana dengan tubuh kaku. Ternyata apa yang aku takutkan terjadi.

Kenapaa? Papa bangun... bangun Paa... Papa tidak boleh meninggal. Aku mau papa." Aku menggoncang-goncangkan tubuh papa. Aku memberontak ketika beberapa orang menarikku menjauh dari papa.

Mama berlari memelukku erat-erat sambil menangis. Pintu kamarkupun terbuka. Semua adik-adikku berhamburan keluar. Kami menangis bersama-sama. Rasanya ini semua mimpi. Mimpi yang sangat buruk. Berjam-jam kami menangis.

Lalu aku beranjak, "Aku mau tidur lagi. Kalian ikut tidak? Nanti setelah bangun semua ini tidak ada. Ini cuma mimpi buruk. Semua orang yang berada di situ terdiam, mematung. Mama memandangiku dengan sedih. Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Diikuti adik-adikku. Kami membenamkan diri ke ranjang kami sampai tertidur.

Setelah kejadian itu, mama berusaha mencari pekerjaan. Pagi-pagi ia sudah bangun. Beruntung rumah makan di jalan besar mau menerima mama sebagai kasir. Biasanya dengan perut yang membesar orang akan enggan untuk mempekerjakan.

Setelah kepergian papa. Mama jarang di rumah. Setiap pulang sekolah kami hanya menemukan secarik kertas yang memberitahukan ada makan siang untuk kami. Atau ada makan malam di kulkas yang harus dihangatkan dulu.

Aku kasian sekali pada mama. Di saat seperti ini sebenarnya mama sangat membutuhkan kehadiran papa. Sama seperti kami sangat merindukan papa. Aku selalu berusaha membantu mama. Dengan sekuat tenagaku. Aku belajar mengatur adik-adikku dengan baik. Menggantikan mama mengajari mereka. Bahkan aku sudah bisa memasak dengan bumbu-bumbu sederhana.

Mama bukan tipe wanita yang suka mengeluh. Ia menjalani hidup dengan senyuman yang bahagia. Kadang aku ingin mendengar mama menumpahkan isi hatinya. Namun tidak pernah terjadi.

Hari ini mama sakit perut. Tetanggaku Tante Mirna sudah mengantar mama ke rumah sakit, sementara aku akan berangkat ke sekolah. Bagaimanapun juga aku bahagia. Tidak sabar aku menunggu saat pulang. Kuharap adik cepat lahir dengan selamat tidak kekurangan suatu apapun. Aku tahu mama telah begitu repot bekerja untuk kami. Semenjak kepergian papa, mama bekerja di 2 tempat. Pasti mama sangat lelah. Kami semua telah sepakat akan membantu mama sebaik-baiknya. Kami akan belajar dengan baik sehingga mama senang melihat rapor kami.

Bel sudah berbunyi. Itu berarti waktunya pulang sekolah. Aku segera mencari adik-adikku. Oh, iya... kami semua bersekolah di sekolah yang sama. Sekolah kami sangat besar. Adikku yang terkecil ada di tk sekarang. Lingkungan sekolah kami hanya dipisahkan oleh pembatas tembok dengan sebuah pintu kecil. Saat jam sekolah SD usai pintu tersebut dibuka, jadi aku tinggal melangkah masuk menjemput adik.

Adikku ada di tk kecil, tk besar, kelas 1, kelas 2, kelas 3, kelas 4 dan aku di kelas 5. Kami berangkat dan pulang bersama-sama. Tetangga kami berkata, " Seperti sederetan serdadu kecil yang berangkat perang". Aku senang sekali pergi dan pulang bersama-sama seperti ini. Sepanjang perjalanan pulang kami saling menjaga dan bercerita tentang kejadian di sekolah.

Sesampai di rumah kami buru-buru cuci muka dan tangan lalu berganti baju. Kami mau menjenguk mama. Kami ke rumah Tante Mirna. Beliau berjanji akan mengantar kami ke rumah sakit sepulang sekolah. Sebelum berangkat aku menandai kalender. 12 Maret 1948, hari kelahiran adik bungsuku. Usianya terpaut 10 tahun denganku.

Sudah 30 menit kami berdiri dan memanggil tante Mirna. Tidak ada jawaban! Kemana ya Tante Mirna? Atau beliau lupa? Atau sedang belanja di warung? Tidak lama kemudian Tante Mirna muncul. Kami sangat senang. "Tante kemana? Kami sudah menunggu dari tadi lho... Ayo, antar kami ketemu mama dan adik bayi Tante... Sekarang yaa... "

Dengan wajah pucat dan suara terbata-bata karena menangis Tante Mirna menjelaskan kalau proses kelahiran berlangsung sulit. Mama dan adik bayi tidak tertolong. "Anak-anak, kalian tabah ya, jangan sedih. Mama bahagia di surga bersama adik."

Apa belum cukup dengan kepergian papa beberapa bulan lalu? Kenapa tidak mengambil kami bersama-sama juga? Aku mau mamaku... Aku mau papaku... Aku berteriak-teriak hingga semua orang mendengarnya. "Apa yang Engkau inginkan Tuhan? Kembalikan mamaku! Kembalikan papaku! Kembalikan orang tuaku." Aku jatuh pingsan.

Aku bermimpi... Berjalan dengan kaki telanjang. Berjejak di pasir hangat yang lembut. Aku terus berjalan, lalu rerumputan yang empuk membelai telapak kakiku. Hidupku begitu indah sempurna. Dan tiba-tiba jalanan ini membeku. Menjadi licin dan sulit ditapaki. Dingin! Sangat dingin! Aku berlari sekencang-kencangnya. Berharap semua ini hanya mimpi. Namun yang kuharapkan tidak terjadi. Kekuatan kakiku sudah habis. Malahan aku tiba di semak belukar. Dan aku berlari kembali sampai kakiku mati rasa. Dengan rasa tersiksa yang mendalam.

Mereka bilang aku adalah anak laki-laki yang gagah. Tetapi aku tetap seorang anak. Aku tidak tahu mengapa Tuhan tega melihatku seperti ini. Atau Tuhan sedang mengujiku. "Tidak! Aku tidak akan pernah menyerah! Aku punya 6 orang adik."

Guruku Ibu Endang, selalu mencoba berbicara dengan pelan kepadaku. Bahwa beliau bisa membantu biaya uang sekolah untuk 1 anak. Bahwa aku sudah menunggak 3 bulan untuk 7 anak. Bahwa hal itu sudah tidak dapat ditolerir lagi. Bahwa seharusnya aku meminta orang-orang di kampung untuk menyumbangkan sedikit uang untuk kami. Sehalus apapun dia mencoba berbicara. Intinya seperti itu.

Aku begitu merindukan papa dan mama. Dulu aku tidak pernah memikirkan bagaimana cara membayarnya. Mereka melakukan semuanya dengan baik. Sekarang kami makan nasi tetangga. Mereka bergantian mengundang kami makan. Aku tahu tidak mungkin ini terjadi terus menerus.

Di malam hari aku mendengar kalimat yang mereka ucapkan. "Keadaan sedang susah, kita tidak mungkin menolong mereka terus. Sedangkan kita sendiri kurang." Lalu yang lain menjawab, "Kita tetap tidak boleh tinggal diam, mereka masih anak-anak. Kita bisa menganggap mereka adalah anak-anak kita." "Tapi nyatanya bukan!", sahut yang lain.

Aku sadar benar tidak baik bergantung pada mereka. Aku sebagai anak tertua harus bertanggung jawab terhadap keluargaku. Aku akan bekerja dan mencari uang. Malam telah tiba, aku mencari Tante Mirna tetanggaku. Cuma dia satu-satunya yang dekat dengan keluarga kami.

Awalnya dia tidak setuju usulku ini. Namun karena tekadku sudah bulat dia berjanji akan membantuku mencari pekerjaan. Tante Mirna memang hebat. Mulai Senin depan aku sudah mendapatkan pekerjaan. Pagi hari aku akan berjualan koran. Siang harinya bekerja di rumah makan. Lalu sore hari aku akan mengambil baju-baju kotor milik tetangga.

Kali ini kami tidak perlu lagi meminta makanan pada tetangga. Uangnya pasti cukup untuk biaya hidup dan bersekolah. Lega sekali rasanya.

Aku tidak masuk sekolah berhari-hari. Tentu saja, tidak mungkin aku hadir di dua tempat. Kabarnya guruku Ibu Endang beberapa kali datang ke rumah mencariku. Tetangga yang memberitahuku. Mereka juga sudah memberitahu kalau aku sudah bekerja.

Hari ini setelah berjualan koran, aku sengaja datang ke sekolah untuk berbicara pada wali kelasku. Beliau sedih namun memahami keputusanku.

Hari ini ketika bangun pagi aku mendengar suara anak kecil yang riang. Buru-buru aku melangkah ke depan rumah mencari suara anak itu. Aku sampai di jalan depan rumah. Di sana ada sebuah bangunan kelenteng tua. Lalu aku melihat seorang anak digandeng kedua orang tuanya memasuki bangunan tersebut. Aku mengamati dari kejauhan. Ia terlihat sangat bahagia. Mamanya menggandeng di sebelah kiri. Dan papanya menggandeng di sebelah kanan. Lalu dengan lincah si bocah melepaskan diri dan berlarian di pelataran. "Hati-hati, sayang!" Teriak mama. Tiba-tiba papa menghampiri, mengangkat tinggi-tinggi. Mereka berputar-putar sambil tertawa kegirangan.

Aku sangat iri. Iri sekali pada mereka. Mengapa mereka terlihat sangat bahagia. Aku sangat rindu papa dan mama. Melelahkan sekali hidup tanpa mereka. Aku kelelahan secara batin dan fisik.

Tujuh belas tahun telah berlalu sejak mama meninggal. Andaikan waktu kembali berputar. Aku pasti lebih menyayangi dan menghargai mereka. Aku tahu hanya bisa mensyukuri yang kupunyai sekarang ini, yaitu adik-adikku. Mereka sudah dewasa sekarang. Beberapa dari mereka memiliki profesi perkerjaan yang membanggakan. Aku bahagia telah menjadi kakak yang mendukung dibelakang mereka.

Sebenarnya melalui semua kesulitan ini, aku telah menjadi seseorang yang berbeda. Aku bukan Yofa anak yang polos dan ceria. Aku adalah Yofa pemuda yang dewasa dan bahagia. Orang-orang melihat hidupku menyedihkan. Namun aku bahagia Tuhan mengujiku sedemikian rupa sehingga aku lebih unggul dibanding yang lain. Prosesnya telah mendewasakan aku.

Hari ini sepulang kerja aku berjalan cepat-cepat. Hari hampir hujan dan aku belum mengambil cucian tetangga. Tiba-tiba aku melihat seorang anak perempuan. Mungkin umurnya baru 10 tahun. Ia sangat cantik. Langkahku terhenti memandanginya. Entah kenapa aku tidak melihatnya sebagai anak kecil. Ia sedang bermain bola bekel bersama teman-temannya di ujung jalan. Letaknya tidak jauh dari rumahku.

Sesampai di rumah aku masih terus memikirkannya. "Siapa dia? Mengapa baru kali ini aku melihatnya? Ia bermain di sekitar sini. Apakah tempat tinggalnya dekat dengan rumahku? Dia sangat cantik, sepertinya dia berdarah campuran. Berapa umur sesungguhnya? Aku berharap dia 15 atau 16 tahun dan bukan 10 tahun. Aahh... kenapa aku ini? Kenapa berpikiran aneh seperti ini?" Aku memukul-mukul kepalaku seperti ada yang salah.

Adikku bilang dia adalah anak yang pendiam. "Memangnya kenapa? Kakak menyukainya ya? Tidak biasanya kakak bertanya seperti itu?" Dengan gelagapan aku menjawab, "Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu saja." Walaupun tidak masuk akal, rasanya aku benar-benar jatuh cinta padanya. Umurku terpaut 17 tahun dengannya. Apa aku sudah gila? Aku kembali memukul kepalaku. Berharap rasa ini hilang begitu saja.

Memikirkannya saja sudah membuatku hampir gila. Orang bilang mencintai anak kecil berarti ada kelainan seks. Apakah aku termasuk didalamnya? "Ahh... apa yang harus kulakukan?" Aku bergumam sendiri. Karena tidak tahan lagi, aku mencoba bercerita pada adik-adikku sendiri.

"Apaaa? Apa kakak sudah gila? Dia kan masih kecil kak? Kakak mau menunggu sampai kapan? Sampai dia besar? Kakak sudah 27 tahun. Sudah saatnya punya pendamping yang sepadan. Aku kenal beberapa gadis yang cantik dan baik hati. Nanti aku kenalkan kepada kakak." Mereka mengeroyokku sekarang. Sepertinya aku mengambil langkah yang salah dengan menceritakan hal ini pada mereka.

Lalu tidak terasa umurku sudah 35 tahun sekarang. Adik-adikku bahkan sudah menikah. Mereka menyebutku 'joko tuo'. Di daerah ini jika seorang laki-laki atau perempuan terlambat menikah akan mendapat sebutan. Joko tuo atau perawan tua. Memalukan.

Mungkin tidak masuk akal, tetapi aku masih menantikan Elisabeth. Sekarang dia berumur 18 tahun. Kabarnya dia memiliki seorang pacar yang sangat tampan dan kaya. Aku tahu pacarnya itu banyak teman wanita. Dia tidak begitu setia. Kuharap dia tidak memperalat Elisabeth.

Delapan tahun ini aku belum juga mengenalnya. Aku hanya mengamati dari jauh. Dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Boleh dibilang gadis tercantik di kotaku. Hampir semua pria mengejarnya. Aku tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya. Apalagi mengejarnya. Rasanya diriku tidak pantas untuknya. Sampai suatu hari seorang paman yang tinggal beberapa blok dari rumahku menghampiriku.

"Hei... Bukankah kamu ingin mengenal gadis cantik itu? Ayo ikut aku..." Aku ragu-ragu, namun kuikuti juga paman itu. Aku tiba dirumahnya. Ternyata paman ini teman dari mama Elisabeth. Hari itu akhirnya aku berkenalan dengan Elisabeth.

Gadis cantik yang kulihat dari kejauhan. Ternyata dari dekat dia lebih cantik. Pandangan matanya menyiratkan kepolosannya. Hidungnya mancung tinggi dengan bola mata coklat terang. Kulitnya putih bersih. Bibirnya mungil merah muda. Aku terpesona saat dia berkata-kata, suaranya sangat lembut. Gaya pakaiannya sederhana. Sungguh ciptaan sempurna.

"Tuhan, berikanlah gadis ini kepadaku dan aku akan mencintainya seumur hidupku. Aku akan setia sampai mati." Aku berjanji di dalam hatiku.

Beberapa hari kemudian aku melihat Alex pacar Elisabeth. Dia mengajak beberapa orang wanita. Aku mengikutinya dengan diam-diam. Ternyata mereka berenang bersama-sama. Entah mengapa aku merasa terluka melihat perbuatannya. Dia beberapa kali terlihat terlalu 'dekat'. Mereka berpeluk-pelukan dan berangkulan mesra.

Aku segera pergi dari situ. Berlari sekencang-kencangnya mencari Elisabeth. Menceritakan apa yang aku lihat dan mengajaknya ke tempat itu untuk melihat kelakuan Alex. Kami mengintai dari jauh. Kulihat di mata Elisabeth kesedihan yang amat mendalam. Kekecewaan jelas terlihat diwajahnya. Aku baru menyadari kalau Elisabeth benar-benar mencintai pria ini. Aku jadi ragu yang kulakukan ini benar atau salah.

Berhari-hari Elisabeth mengurung diri di kamarnya. Kata mamanya ia tidak mau ditemui siapapun. Ia juga tidak berselera makan. Aku berpikir ini semua salahku. Akhirnya kuberanikan diri untuk menemuinya. Aku minta ijin kepada mamanya untuk mengetuk kamarnya. Aku membawakan beberapa camilan kesukaannya. Galundeng. Entah apa nama lainnya. Tapi di sini semua orang menyebutnya demikian.

Dia membukakan pintu untukku. Lalu kami duduk diteras melihat orang berlalu lalang dan mengobrol soal kejadian waktu itu. Aku meminta maaf telah membuatnya sedih. Tapi dia malah berterima kasih kepadaku.

Sejak kejadian itu kami sering bertemu. Aku mengajaknya keluar beberapa kali, berjalan-jalan dan menonton bioskop. Hubungan kami makin hari makin dekat. Aku menyatakan cintaku padanya. Dan ia menjawab melalui sebuah surat.


Untuk Yofa,

Halo Yofa apa kabar? Kau tahu aku tidak pandai berkata-kata. Kuharap penjelasanku membuatmu lebih mengerti keadaanku sekarang ini.

Awalnya aku mengira kita hanya teman biasa. Dan kau menganggapku sebagai adik. Kau tahu kan selisih umur kita? Tujuh belas tahun! Kuharap engkau masih mengingatnya.

Menurutku kau memang berbeda dengan beberapa temanku. Yang kurasa cukup dekat denganku. Atau bersahabat denganku. Mereka semua mengawali pertemanan dengan baik. Namun beberapa diantaranya memberi kesan yang menyedihkan terhadapku.

Kau juga tahu rumahku yang di jalan besar. Di depan gang rumahmu. Sudah di jual oleh orang tuaku. Kuharap kau juga mengetahui kebenaran lainnya. Bahwa papaku telah bangkrut. Hidupku sekarang bukan seperti yang dulu. Kurasa kau telah tahu. Tapi aku ingin menjelaskan padamu. Orang tuaku tidak memiliki apapun untuk diberikan padamu. Bahkan keadaan kami lebih parah dari yang terlihat.

Setelah kepindahanku di rumah baru, aku selalu memintamu berdiri di depan rumah. Tidak pernah mempersilahkanmu masuk. Aku terlalu malu dan tidak percaya diri.

Sebelum itu seorang teman laki-lakiku mampir ke rumah. Melihat rumah baruku. "Ya ampun, Elisabeth. Mengapa rumahmu seperti ini? Seperti pemukiman kumuh. Mamaku pasti akan marah jika aku melanjutkan hubungan denganmu. Maaf ya..."

Ia bukan siapa-siapa. Bahkan tidak ada dihatiku. Namun kata-katanya menyakitkan bagiku. Lalu beberapa temanku yang lain mulai menjauhiku.

Entah kenapa kau begitu berbeda dari mereka. Kau tetap baik padaku. Kuharap lubuk hatiku tidak salah. Bagaimana mungkin aku menolakmu. Pria yang selalu menemaniku. Selalu ada untukku. Ya, aku mau menjadi kekasihmu. Walaupun orang-orang akan memandang kita aneh.

Dengan tulus,
Elisabeth

Kegirangan hatiku membaca jawaban surat itu. Aku memberanikan diri meminta restu pada orang tuanya. 7 November 1977 adalah hari pernikahan kami. Uang kami tidak banyak. Jadi kami merayakannya secara sederhana. Aku menyewa sebuah restoran kecil. Mengundang keluarga dan teman-teman kami.

Alex datang juga ke pernikahan kami. Ketika memberi selamat dia berkata kepada Elisabeth. "Aduh menyedihkan sekali, jadi kamu memilih orang tua ini? Dan kau... terima kasih sudah mengambil apa yang tidak kuinginkan lagi." Sebenarnya aku sangat marah mendengarnya. Namun rasa bahagiaku telah mengalahkan kemarahanku. Aku anggap saja dia orang gila yang sedang kambuh.

Usiaku saat ini 38 tahun. Usia Elisabeth 22 tahun. Kami terpaut 17 tahun. Orang bilang kami seperti ayah dan anak. Namun aku tidak peduli. Begitu juga dengan Elisabeth. Beberapa teman Elisabeth mengira dia matre. Benar-benar tidak beralasan. Karena aku sama sekali tidak kaya.

Setelah menikah aku mulai membuka toko onderdil kendaraan bermotor. Aku meninggalkan rumah lamaku untuk adik-adikku. Sedangkan kami pindah di rumah kecil seluas 70m2. Walaupun kecil kami sangat bahagia.

Beberapa tahun setelah itu Tuhan membalas semua yang baik sebagai ganti yang tidak baik di masa laluku. Tiba-tiba seseorang mau menukar rumah kami hanya dengan menambah sedikit uang. Rumah kami membesar menjadi 3000m2. Aku menjual sebagian sebagai ruko dan menyisakan 1500m2 untuk kami tinggali.


Sekarang aku masih hidup dan berumur 77 tahun. Dan istriku Elisabeth berumur 60 tahun. Aku baru mengerti arti hidup sesungguhnya. Bahwa kita semua jatuh bangun melalui ujian kita. Sesuai dengan kekuatan kita masing-masing. Roda akan terus berputar. Tidak peduli kita berada di atas atau di bawah. Yang terpenting adalah kita memilih untuk berjuang atau menyerah. Untuk bahagia atau untuk meratapi nasib. Untuk menjadi dewasa atau semakin kekanak-kanakan. Karena hidup itu adalah pilihan.

Hidup telah mengajarkan aku untuk berlari. Bukan berjalan dengan santai. Aku berlari dengan tujuan yang pasti. Walau kadang melewati jalan yang dingin atau bahkan berduri. Namun aku tahu pasti bahwa aku harus mencapai garis finish. Dan menyelesaikan pertandinganku.

Cerita ini diambil dari tokoh nyata yaitu papaku. Dan diikutkan dalam kompetisi blogger Gramedia. Tidak 100% benar. Tetapi dibuat mirip dengan imajinasi dan bahasa yang berbeda sesuai karakter penulis.

If you want to be a writer. Write.