Thursday, December 31, 2015

Hadasa (episode 1)

"Hadasa... makan siang sudah siap. Sayur bayam kesukaanmu, oseng tempe serta kerupuk ikan".
"Yaa Nenek... aku siap memakan... semuanyaaa", jawabku sambil menghampiri nenek.
"Aku sayang Nenek dan juga Kakek".
Nenek memelukku dengan kasih sayang. Pelukan yang terasa hangat di hati.
Di rumah kecil ini kami tinggal bersama. Aku, Nenek dan Kakek. Kami terlalu bahagia sampai-sampai tidak menyadari rumah ini terlalu sederhana dengan pembatas rumah yang hanya menggunakan gedheg*.

Bagiku nenek dan kakek adalah paduan yang menakjubkan. Nenek bersuara merdu, ahli memasak berbagai jenis masakan Jawa, hobi menjahit dan membuat kerajinan tangan.

Aku beruntung lahir di kota yang indah dengan rumah-rumah bergaya kolonial. Aku pikir kamu ingin mengetahui rumahku. Jika kamu menggunakan mobil mungkin sedikit kecewa menemukan gang yang hanya cukup dilalui sebuah mobil. Setelah lega berbelok menuju jalan yang lebih besar, kamu harus berjalan kaki menyusuri lorong yang lebih kecil. Mungkin bagimu menyebalkan menemukan tembok tinggi berdinding kasar yang tidak diplester di sepanjang perjalananmu. Dan di sisi lain tiga buah rumah sederhana berderet rapi. Belum lagi ketika ayam-ayam itu dengan kotekannya berjalan melewatimu. Untukmu semua terasa asing. Setelahnya kamu akan melihat belokan yang berakhir buntu. Di tempat yang buntu itu kau akan menemukan rumahku. Bukan di sisi kiri atau kanan tapi tepat didepanmu.

Rumah dengan pagar kayu sederhana dan pohon-pohon gandarusa yang menjulur dari atas seakan menyambutmu. Hamparan suplir yang subur ada di dekat kakimu. Kuharap engkau tidak menginjaknya. Dan di sisi tembok pembatas akan kau temukan lautan anggrek yang merekah ungu. Kakek menggantung pohon-pohon gandarusa, menempelkan bunga-bunga anggrek dan menanam berbagai macam suplir supaya kamu merasa betah.

Ketika kakimu melangkah masuk, kau menyadari taman itu melebar ke sisi kiri. Pandanganmu akan segera beralih dan kamu akan tercengang melihat taman yang lebih indah. Perpaduan tanaman favorit kakek yang ditata apik. "Lalu apakah kau melihat jendela hijau itu? Ya, itulah kamarku!" Kakimu tak akan tahan untuk tak melangkah ke sana, meski jalan setapak berbatu yang ada cukup sempit. Di pagi hari aku membuka jendela untuk menemukan pemandangan ini. Dan aku tidak bisa menahan kebahagiaanku. Bagiku rumah ini romantis dan hangat. Kau cukup duduk menikmati pemandangan di sini dengan secangkir teh hangat. Dan harimu terasa lebih cerah. Atau kalau kau tidak suka mungkin sudah terkapar dari tadi. Semoga harimu indah di sini. Setelah mengalami perjalanan ke rumah buntu yang tak menyenangkan.


Bersambung....

Gedheg = dinding partisi anyaman bambu.

Tuesday, December 29, 2015

Orang Aneh


Berawal iseng-iseng mengambil foto. Proses pembersihan ikan. Jepret... jepret... Hah? Ikannya di sikat hidup-hidup! Saya mengurungkan niat untuk memperhatikan lebih jauh dan segera mengalihkan pandangan menuju pintu masuk. Tepat saat saya mambalikkan badan kemudian, saya melihat ikan lain meronta-ronta dalam jaring melompat menggelepar. Kemudian diambil dan dibanting sama mas-masnya. Alamak... bener-bener tidak berperikeikanan. Mendingan saya masuk dan tunggu di dalam daripada nggak bisa makan nanti. Walaupun saya tidak percaya reinkanarsi dan yakin setelah mati mereka tidur selamanya. Tetap saja hati saya iba sama ikan-ikan ini.

Jadi teringat kisah lampau memelihara beberapa gurami dan lele. Rencana A dimasak sendiri. Rencana B dibawa ke restoran minta tolong masakin! Saya sering memandangi mereka sambil berpikir, "Kok nggak besar-besar?" Seiring waktu mereka menjadi super besar dengan badan aduhai. Akhirnya kami menjalankan rencana C, memelihara dibelakang rumah sampai mereka tua dan mati. Lalu dikuburkan dibelakang rumah. Dasar orang aneh! Seorang teman menertawakan saya. 

Julukan orang aneh itu terasa begitu melekat diotakku sejak kecil. Aku selalu bertanya-tanya dalam hati, "Mengapa orang lain tidak aneh dan aku aneh?" Sepanjang hidupku bertambah juga bukti-bukti yang menguatkan 'aku aneh'.

"Aku heran mengapa dia tertarik padamu, bahkan menjadi suamimu?"
"Aku lebih heran lagi ada orang sekurus kamu?", celetuk yang lain.
"Apa yang dia lihat darimu?"
"Aku tidak tahu", gumamku.

Ketika aku mengandung seorang anak dokter Andrie memberikan begitu banyak resep vitamin dan nafsu makan. Kehamilan pertama, kehamilan kedua, kehamilan ketiga dan keempat. Bahkan ia mengeluarkan tabel perbandingan antara berat dan tinggi badan untuk menunjukkan betapa tidak seimbangnya diriku. Aku hanya tersenyum.

Terakhir seorang teman bertanya dengan nada serius, "Apa yang kamu lihat ketika berada di depan kaca? Apa kamu merasa aneh?"
"Biasa aja, tidak merasa ada yang aneh. Kurus ya? Suamiku kan kurus juga", ujarku menjelaskan.
"Tubuhmu itu nggak normal, coba deh lihat baik-baik di depan kaca. Jika kamu merasa normal berarti kamu itu sakit. Dengan tinggi 163 coba berapa beratmu? Nggak sampai 40 kg kan?"
"Aku 38 kg sih sekarang. Kemarin naik 1kg", sahutku pelan.

Belajar dari buku Ajahn Brahm, jika ada masalah pasti ada solusi atau jawaban. Jika tidak ada solusi atau jawaban itu namanya bukan masalah. Biasanya aku selalu bertanya pada Tuhan jika tidak mengerti sesuatu. "Tuhan, kenapa tubuhku berbeda dengan yang lain? Mengapa begitu kurus sehingga orang-orang memandangku aneh?" Tidak kudapatkan jawaban dari Tuhan. Jadi walau hal itu mengganggu aku berusaha menganggapnya tidak ada.

Hari ini sangat spesial 25 Desember 2015, aku sudah terlambat untuk sesi pertama karena bangun kesiangan. Dan terburu-buru bersiap untuk sesi kedua. Sebenarnya tidak terlambat, namun karena hari Natal lebih pagi lebih baik. Benar, tempat parkir tidak kami dapatkan. Alhasil kami terus berputar-putar naik ke tingkat yang lebih tinggi. Di lantai 10 dengan tergopoh-gopoh kami berlari memasuki gedung. Di lantai atas itu iklan besar memanjang di sisi dinding. Kurasa Tuhan telah mengirim jawaban dan menyuruhku membaca.
"I'm not weird, I'm limited edition.
Terima kasih Tuhan,
Aku tidak aneh, Aku edisi terbatas", ucapku terharu.

Aku merasakan tulisan ini juga ditujukan untuk temanku. Kisah ini tidak untuk menyalahkan seseorang. Justru aku merasa beruntung dan berterima kasih dikelilingi oleh orang-orang yang memperhatikanku.

Foto diambil di dapur luar Bintang Aceh, ikannya segar, mie Acehnya enak walaupun terlalu pedas untukku. Awalnya keluarga ipar yang mengajak makan siang bersama. Makanannya cukup oke dengan orang-orang yang ramah. Namun ketika melangkah masuk terlihat banyak pendingin ruangan yang tidak berfungsi. Dan tepat disebelah meja kami terdapat genangan air yang berasal dari AC yang bocor. Ruangannya cukup besar. Penampilannya masih bisa ditingkatkan. Di luar saya melihat panggangan besar seukuran meja makan klasik. Barisan udang berjajar rapi hanya diujungnya. Itulah pesanan kami. Tidak ada pengunjung lain di sini. Entah kenapa? Suasana ruangan? Suhu yang panas karena pendingin ruangan tidak berfungsi? Atau suatu kebetulan.

Oh iya, seperti biasa setiap kami hampir selesai makan selalu ada pengunjung lain yang datang. Kebetulan yang aneh. Dan foto ikan sengaja tidak saya cantumkan. Yg jauh tidak terlihat menarik dan yang dekat mengerikan.

Monday, December 28, 2015

Namaku Ecomaret

Ini adalah kertas kosong, milik kami sendiri. Kebanyakan tulisanku. Kuisi dengan warna warni kehidupan yang nyata dan imajinasi tak nyata. Aku tidak berharap banyak supaya kalian suka, melihatku melakukan kegiatan yang kusuka. Ini adalah buku harianku, tempat kami berbagi kisah sorak sorai dan air mata, gegap gempita dan keheningan. Kami terus menyusuri jalan. Setapak demi setapak sampai satu saat buku harian ini masih di sini. Mungkin sempat terhambat, namun terus merambat. Karya demi karya, kisah demi kisah, nada demi nada.

Ecomaret namaku. Kata orang bukan nama romantis bernada merdu. Bagiku nama ini mendalam dengan kisah cinta lingkungan yang bisa didaur ulang. Dengan kisah Severn, bocah 12 tahun yang pidatonya membungkam orang-orang ternama. Perhatiannya pada alam bumi menggetarkan jiwa.

Mengandung makna bulan ketiga. Lagi-lagi bagiku angka ini mewakili hubungan yang seimbang antara Tuhan, manusia dan alam. Sengaja menggunakan Bahasa Indonesia karena aku mencintai. Berharap dapat melakukan sesuatu untuknya. Pun aku terlihat tak punya apapun untuk dibagikan. Kuharap aku adalah benih kecil dengan potensi besar.

Friday, December 25, 2015

Saya adalah Kapal Perang

Renungan yang bagus hari ini.
Sebuah kapal perang ikut serta dalam latihan perang. Di tengah cuaca yang buruk berhari-hari. Di suatu rembang petang, kekelaman malam menyelimuti lautan yang berkabut. Kapten kapal memutuskan tetap berada di anjungan untuk mengawasi keadaan. Pengintai di sayap anjungan melaporkan bahwa ada sinar di sebelah kanan kapal.
Kapten bertanya, "Benda itu diam atau bergerak?"
"Diam Kapten", jawab Pengintai.
Itu berarti mereka akan bertabrakan. Kapten memanggil pemberi isyarat, "Beri tanda pada kapal itu untuk mengubah arah 20 derajat ke utara".
Dari sana muncul balasan, "Ubah arah Anda 20 derajat ke selatan".
Kapten berkata, "Kirim tanda: Saya kapten, ubah arah Anda 20 derajat ke utara".
Jawaban dari sana: "Saya pelaut kelas dua, "Ubah arah Anda 20 derajat ke selatan dengan segera.
Saat itulah kapten marah sekali. Dia berkata, "Kirim: Saya adalah kapal perang. Ubah haluan Anda 20 derajat ke utara."
Dari sana ada jawaban, "Ubah arah Anda 20 derajat ke selatan. Saya Mercusuar".
Mercusuar adalah penuntun bagi kapal dalam menentukan arah.
Sumber -K.A.

Tuesday, December 22, 2015

Asal Usul

Aku adalah aku
Tanpamu aku bukanlah aku
Waktu menapak menyisir dimensi
Kau menua seiring waktu

Aku adalah aku
Dan itu adalah Kau
Tanpamu aku tak berwujud
Pun cintamu tak penuh
Ucap penunggu penunggu

Bagiku berwujud penuh
Mega mendung dibias senja
Keelokanmu tak luntur diterpa waktu
Sampai senja berubah jingga

Tak ada yang abadi
Banyak rumah telah berpulang
Hilang tak pernah kembali
Kuharap terhadapmu jangan

Kasihmu abadi dalamku
Kasihku abadi dalammu
Tak pernah cukup untukmu
Hutangku tak pernah terbayar
Seulung apapun jiwaku





Untuk Ibu
Yang melahirkanku
Yang membesarkanku
Yang menemaniku
Yang mengasihiku
Yang membiayaiku
Yang menasehatiku
Yang membentakku
Yang memarahiku
Yang memukulku
Yang merasa sepi
Membiarkanku pergi meninggalkan rumah
Mendoakanku berbahagia bersama keluarga kecilku
Dan merasa ditinggalkan buah hatimu satu-persatu

Maafkan aku ibu, belum bisa membuatmu hidup lebih bahagia

Selamat Hari Ibu
Aku Mencintaimu!

Santa

Sunday, December 20, 2015

Cinta Tak Dikenal

Pangga. Itu nama saya. Terdengar aneh? Unik? Lucu? Jarang? Saya bangga memiliki nama itu. Saya belum punya pacar alias jomblo. Padahal umur saya udah lebih dari cukup. Berhubung saya orang yang taat kepada Tuhan. Saya berdoa kepada Tuhan minta jodoh. Bayangan saya akan jodoh nantinya adalah wanita yang kuat, mandiri, tegas, pokoknya wanita yang aktif, supel, gagah perkasalah. Hahaha..

Seiring waktu saya terus berdoa. Saya merasa Tuhan telah menunjukkan jodoh saya melalui tanda-tanda. Saya jenis orang yang percaya kalo Tuhan itu menjawab doa melalui tanda. Tanda yang saya harapkan adalah saya sering bertemu dengannya. Atau Tuhan mengarahkan saya untuk selalu bertemu dengannya.

 Setelah ketemu, "Lhoo kok ini? Dak salah Tuhan?" Jangan-jangan ini cuma pikiran saya. Bukan tanda-tanda dari Tuhan. Karena wanita yang saya temui di depan ini, kelihatan kalem banget! Jawa banget! Lembut banget! Udah gitu rumahnya itu masuk jalan kecil, belok lagi ke gang kecil dan gang itu buntu di situ. Itulah rumahnya. Bukan tipe sayalah yang ini... Mungkin ini bukan tanda dari Tuhan. Ini perasaan saya saja. Saya mana mungkin jatuh cinta dengan wanita seperti ini.

 Saya punya teman dekat, namanya Pak Jimmy. Akhirnya saya mengeluarkan isi hati saya padanya. Namun bukan jawaban jelas yang saya dapatkan. Dia malah kebingungan. Mau ngomong... gak jadi.... mau ngomong... gak jadi... Cuma pipinya aja yang kembang kempis. Bikin saya penasaran aja. Akhirnya kata yang terucap dari mulutnya adalah, "Temui saya besok sore jam 6." Saya menjawab dengan rasa penasaran yang besar, "Okelah, besok saya datang."

Keesokan harinya saya ke rumah Pak Jimmy. Di sana selain melihat dia, saya juga melihat wanita yang saya ceritakan. Berdiri di situ! Di samping Pak Jimmy. Akhirnya kami saling bercerita. Wanita ini sebut saja Prita. Dia juga bercerita kalau dia sedang dikejar-kejar oleh orang tuanya untuk menikah! Jika tidak dia harus menikah dengan seorang pria yang sudah ditentukan oleh orang tuanya. Akhirnya karena bingung dan tertekan Pritapun berdoa.

Setelah berdoa dihatinya selalu muncul sebuah nama. Dalam tidurpun nama itu terngiang-ngiang dibenaknya. Nama itu adalah Pangga! "Tidak mungkin! Bagaimana nama itu bisa muncul?", pikirnya. "Mungkin karena beberapa hari ini sering bertemu. Atau teman saya terlalu sering membicarakan dia". Akhirnya Prita berdoa lagi, "Dalam nama Tuhan aku tolak Pangga!" Tapi nama itu terus muncul. Setiap kali nama itu muncul dihatinya, dia kembali berdoa seperti itu. Akhirnya kami bertemu dan saling bercerita sekarang.

Dengan senyum simpul saya berkata kepada Prita, "Okelah, kita coba pacaran sekarang. Mulai hari ini. Walaupun kita sama-sama tau. Kamu tidak mencintai saya. Dan saya tidak mencintai kamu." Jadi setelah hari itu kami resmi menjadi 'pacar'. Ketika kami berpacaran, tanda-tanda itu terus muncul. Aneh sekali. Salah satunya ketika saya membeli nomor sendiri untuk hp saya. "0812 1600 16001," sahut saya cepat. Prita terkejut, "Kok mirip punyaku 0812 1600 16002". Tanda-tanda yang konyol sih menurut saya. Namun tanda itu terus muncul dan menegaskan dialah jodoh saya. 

Akhirnya karena waktu dan desakan orang tua, singkat cerita kami menikah. Mungkin Anda benar-benar merasa kisah ini aneh, tetapi itulah yang terjadi! Pada waktu akan menikah kami belum saling mencintai. Sampai akhirnya Pastor menyuruh kami saling berjanji untuk mendampingi dalam senang dan susah, suka dan duka, sampai maut memisahkan kami berdua. Tiba-tiba rasa itu muncul. Saya benar-benar jatuh cinta padanya! 

Tanpa terasa kami telah 7 tahun menikah. Awalnya serasa menikahi orang asing yang belum dikenal karena dari awal kami tidak benar-benar berusaha mengenal dan memahami pasangan lebih dalam. Prita jam 9 malam sudah tidur. Saya tidur jam 1 malam. Jadi dari jam 9 sampai jam 1 saya sendirian. Namun saat ini hanya dengan melihat mimik mukanya atau sorot matanya. Saya paham keinginan Prita istri saya. I Love You Prita. Kurasa Tuhan telah memilihkan yang terbaik, yang paling tepat. Hanya untukku...

Buat Anda yang berada dalam situasi seperti saya saat itu. Saran saya... Berdoalah! Doa orang benar bila dengan yakin didoakan sangat besar kuasanya. Ikutilah sinyal-sinyal yang diberikan Tuhan. Banyak orang tidak peka dan tidak percaya akan tanda-tanda yang Tuhan berikan. Namun saya percaya dan berserah sepenuhnya kepada Tuhan.
Sumber -K.A.

Friday, December 18, 2015

Rumah Lama

Karya : Santa W

Rumah lama berwajah usang
Merana dalam butiran debu
Tangan tangan yang merawat sudah lenyap

Di bawah langit biru
Kenangan sendu menjelma rindu
Ketika Matahari seakan berlari
Tetap terbit dan tenggelam tepat waktu

Kenangan adalah butir larutan hati
Menanti asa yang hampir punah
Dihempas angin yang menderu
Tidak ada jawaban yang di tunggu
Hanya keadilan yang perlahan membiru

Kenangan akan rumah lama
Menyiratkan kehidupan yang terdorong jauh hingga tepian
Semoga kembali perlahan lahan dalam senja
Sebelum gelap datang menyapa

Charles Martell dari Aula John Calvin


Charles Martel bukan siapa-siapa. Sementara Abdul Rahman adalah panglima perang hebat. Ia memenangkan dan merebut daerah di mana-mana. Kini ia telah menuju kepada Bangsa Frank. Bangsa Frank saat itu lemah. Eropa dilanda wabah dua kali. Pada abad ke-7 dan ke-14 (kalau saya tidak salah dengar). Wabah yang sangat mematikan yang membuat kota-kota sepi dan sunyi. Membunuh lebih dari 1/2 penduduknya. Bahkan banyak desa yang jika kita kunjungi. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain amat jauh.

Ketika mereka mendengar pasukan Abdul Rahman sedang menuju ke arah mereka. Ketakutanlah mereka. Patahlah hati mereka. Dengan terburu-buru mereka mengumpulkan tentara. Terkumpul sekitar 9.000 orang tentara. Tentara inipun bukan benar-benar tentara melainkan tentara cabutan. Apa itu tentara cabutan? Bangsa Frank kebanyakan bekerja sebagai petani. Mereka menabur benih kemudian menunggu saat panen. Di sela saat-saat panen itu tidak ada yang mereka kerjakan. Mereka inilah yang kemudian di bayar dan di rekrut menjadi tentara cabutan. Jadi Anda terbayang kan apa yang akan terjadi?

Tidak ada pemimpin perang yang berani pada saat itu. Mereka sudah yakin akan hancur. Membayangkan 45.000 pasukan terlatih dari Abdull Rahman. Lalu muncullah Charles Martel. Ia tidak menyetujui konsep tentara cabutan. Lalu mau apa? Tanya orang-orang itu. Bagaimana kalau tidak pakai tentara cabutan? "Aku mau tentara fulltime bukan part time. Aku mau tentara yang terlatih.", jawabnya. "Apa kau sudah gila? Dengan tentara fulltime kita harus bertanggung jawab atas keluarganya juga. Kita harus menggaji mereka. Uang dari mana? Tidak bisa! Kita tidak punya uang. Kecuali engkau yang membayarnya".

"Aku yang akan membayarnya", jawabnya. Tahukah Anda darimana uangnya? Dari biara. Anda tau kan biarawan atau biarawati rajin sekali. Mereka membuat kerajinan, melukis, menulis karya sastra. Ketika itu menumpuk sangat banyak sementara mereka terus membuatnya. Hasilnya di jual sebelum memenuhi biara mereka. Ketika di jual dan mendapatkan uang. Untuk apa uang itu? Makan? Mereka tidak makan daging dan makan kadang 1 haripun hanya 1 kali. Itupun jika tidak puasa. Baju? Mereka memakai baju yang itu-itu saja sepanjang umur hidup mereka. Jadi mereka butuh uang yang sangat sedikit di sepanjang hidup mereka.

Charles Martell mendatangi biara dan bertanya kepada mereka. "Anda punya uang yang sangat banyak kan?" "Ya, tapi itu uang Tuhan", sahut mereka dengan hati-hati. "Bolehkah aku meminjamnya?" 
"Mau digunakan untuk apa?" 
"Untuk perang."
"Itu uang Tuhan", sahut mereka mengingatkan.
"Untuk perang Tuhan. Jika tidak kita semua akan mati. Dan uang itu juga akan dirampas", tegas Charles Martell
"Baiklah engkau boleh meminjamnya", mereka mengijinkan.

Para pemimpin bahkan pemimpin gereja tidak setuju. Mereka sangat marah ketika Charles Martell mengambil uang biara. Namun tidak ada yang dapat berbuat apa-apa. Sebab keadaan mereka sangat terjepit waktu itu. Waktunya tinggal beberapa bulan. Pasukan Abdul Rahman sedang menuju ke negara mereka. Charles Martell merekrut dan membuka lowongan tentara. Akhirnya terkumpullah 30.000 orang. Dalam bulan-bulan itu mereka berlatih setiap hari siang dan malam. Mereka bersiasat dan menyebarkan kabar burung bahwa telah terkumpul 50.000 pasukan terlatih. Hal ini sampai ke telinga Abdul Rahman.
"Pengawal, apakah benar pasukan musuh ada 50.000 orang?", tanya Abdul Rahman.
"Saya tidak tahu keadaannya, tapi saya dengar demikian."
"Bukankah kemarin dikatakan hanya 9.000 orang?"
"Iya kemarin saya juga mendengar begitu."
"Lalu kenapa sekarang jadi 50.000?"
"Saya kurang tahu".

Setelah itu sampailah pasukan Abdul Rahman di satu tempat. Mendirikan kemah-kemah perbekalan. Kemudian mereka berhadap-hadapan. Selama 2 minggu. Lho? Sebenarnya mau perang nggak? Mau. Mereka tidak mau gegabah. Bagaimanapun juga 30.000 dibilang 50.000 tidak kelihatan. Susah hitungnya. Dan susah memprediksi kebenarannya.

Selama 2 minggu itu sebanyak 10.000 pasukan Charles Martell mengitar ke belakang dan mencuri kemah-kemah perbekalan mereka yang juga berisi harta rampasan. Sementara itu di garis depan. Pasukan Charless Martell pura-pura ketakutan dan diam. Akhirnya perbuatan merekapun ketahuan. Pasukan Abdul Rahman segera mundur ke belakang untuk menyelamatkan perbekalan dan harta rampasan yang sudah mereka peroleh selama ini. Segera setelah melihat mereka mundur. Charles Martell memerintahkan untuk memukul mereka kalah.

Setelah kejadian itu bahkan bangsa Frank meminta Charles Martell menjadi raja. Namun dia tidak mengambil kesempatan itu.

Kemarin saya mendengar cerita ini di aula John Calvin, dibawakan oleh Bapak Jimmy Pardede.

Nah, saya melenceng sedikit dari pembahasan kemarin. Walaupun bukan ini yang dibahas kemarin. Saya mengambil dari sisi lain. Dari sini bisa kita lihat bahwa melihat kenyataan pertama. Tidak mungkin Charles Martell menang. Tidak mungkin bangsa Frank menang. Keadaan bangsa itu baru saja terkena wabah. Penduduknya sangat sedikit. Tidak ada tentara. Penentunya adalah semangat juang yang tinggi. Bukan masalah SARA atau yang lain. Sebaiknya kita melihat. Kebanyakan orang tidak memiliki semangat juang. Memilih menyerah ketika dihadapkan pada kenyataan yang tidak sesuai harapan. Setelah semangat kita juga butuh siasat. Ketika kita melakukan segala sesuatu harus memiliki perencanaan yang matang dan siasat yang jitu.

Saya harap kita semua memiliki semangat seperti itu secara positif bukan bagi keuntungan diri sendiri atau kelompok tertentu, tetapi untuk menjadikan kita pribadi yang indah di mata Tuhan.


Monday, November 30, 2015

Impian Serdadu Kecil 1938

Namaku Yofa. Saat ini aku berumur 10 tahun. Aku lahir pada tanggal 30 Juni 1938. Aku memiliki papa yang tegas, rajin, kuat, bertubuh tinggi, tegap, berkulit coklat dan keren! Tidak cukup kata-kata untuk menggambarkan papaku. Papa bekerja di percetakan. Jika bekerja papa akan berpakaian rapi. Papa suka sekali memakai setelan safari.

Di hari libur, papa akan mengajak kami sekeluarga berjalan-jalan. Papaku terampil membuat peralatan rumah. Dia bisa membuat meja dan kursi. Bahkan jam dinding! Bentuknya antik, tapi kami semua menyukainya. Kami memajang jam dinding itu diruang makan. Selain keluargaku tidak ada yang memiliki jam seperti itu.

Kami 7 bersaudara. Rumah kami cukup besar namun dengan 4 anak laki-laki dan 3 anak perempuan yang berlarian kesana kemari, rasanya tidak cukup menampungnya. Untungnya halaman rumah kami sangat luas dan banyak ditumbuhi pohon-pohon. Kami sering berlarian lalu bermain petak umpet di sana. Kami tinggal sekamar dengan ranjang besi kuno yang sangat panjang. Kasurnya berjajar untuk 7 anak. Ketika kosong aku akan berguling dari ujung ke ujung. Rasanya tidak sampai-sampai. Setelah itu adik-adikku akan berebutan mencobanya.

Kami keluarga besar yang bahagia. Oh, iya.. aku juga punya seorang mama. Mamaku berkulit putih. Ia sangat cantik dan lembut. Di pagi hari beliau akan membangunkan kami dengan ciuman mesra. Masing-masing di pipi kami. Mama sangat mencintai kami dan papa. Karena itu mama gemar membuat makanan enak untuk kami. Kami yakin mama adalah koki terhebat di dunia. Mama teman terbaik yang selalu ada untuk kami setiap saat. Ia yang mengajari kami dengan sabar. Saat hari-hariku terasa berat aku akan mencari mama.

Akhir-akhir ini entah kenapa papa sering mengeluh merasa pusing dan tidak enak badan. Aku dengar papa sakit diabetes. Aku belum pernah mendengar nama penyakit ini sebelumnya. Hari itu aku berjalan kaki pulang sekolah. Tapi mama tidak menyambutku di rumah. Kami mencari dan memanggil kesana kemari. Tidak ada jawaban! Lalu adikku Erisa melihat secarik kertas di atas tudung saji. Kami membaca bersama-sama.

Dari : Mama
Untuk : kalian semua

Halo sayangku, hari ini mungkin mama pulang agak sore. Kalian jangan bertengkar ya? Yofa, ada nasi dan lauk pauk di atas meja, tolong awasi adik-adikmu supaya makan. Mama akan pulang secepatnya. Jangan lupa cuci tangan sebelum makan. Setelah itu kerjakan PR kalian.

Mama sayang kalian semua. Dengan cinta...

Hmm.. aku berpikir keras. Kemana ya mama? Tidak seperti biasanya mama tidak menunggu kami pulang sekolah? Makin berpikir makin pusing. Aku tidak tahu jawabannya. Ya sudahlah, lebih baik menuruti kata mama. Aku segera menyiapkan adik-adikku untuk makan.

Hari ini rasanya panjang sekali tanpa kehadiran mama. Kami bosan setengah mati. Tidak ada yang sibuk mengatur-ngatur untuk tidur siang, tidak ada yang mengajari untuk membuat pr, atau mencium pipi kami sebelum tidur.

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 04.00 sore. Mama belum juga pulang! Hmm.. seharusnya papa sebentar lagi pulang. Biasanya papa pulang jam 05.00 sore. Semoga kali ini papa pulang sedikit lebih awal. Setelah mandi kami berkumpul di ruang keluarga sambil menunggu mama dan papa.

Sudah jam 06.00 sore sekarang. Perut kami mulai lapar. Mama dan papa belum juga pulang. Apa mungkin mereka pergi bersama? Jarum jam menunjukkan pukul 07.00 malam, aku mendengar suara kunci berputar di pintu depan. "Mama pulang.. papa pulang...", aku berseru kegirangan. Kami berlari ke pintu depan. Ketika pintu terbuka mama terlihat berdiri dengan kaku. Kami segera memeluk mama, "Mama.... mama... kemana hari ini? Kenapa lama sekali? Mana papa? Kami pikir mama pergi bersama papa? Kami sudah lapar sekali maa..?" Kami terus menghujani mama dengan banyak pertanyaan. Tetapi mama cuma tersenyum sambil cepat-cepat menuju ke dapur. Mama berkata, "Sebentar ya sayang, mama siapkan makan malam dulu karena kalian pasti sudah sangat lapar."

Kami duduk berkumpul mengelilingi meja makan sambil melihat mama memasak. Mama memang hebat, kira-kira 15 menit kemudian makanan telah siap. Nasi goreng telor, terlihat sederhana namun ini sangat enak. Kami segera makan dengan lahap sementara mama membuka percakapan. "Hari ini mama mengantar papa ke dokter karena tadi papa diantar pulang oleh temannya. Ia tidak enak badan. Lalu mama dan papa ke dokter bersama-sama. Setelah papa selesai di periksa, dokter bilang kadar gula papa terlalu tinggi. Jadi dia tidak boleh pulang. Setelah sehat papa baru boleh pulang."

"Oh, jadi papa sakit? Padahal kami lihat papa sangat sehat kemarin. Kadar gula tinggi berarti kebanyakan makan permen ya, Ma? Aku baru tau kebanyakan makan permen bisa sakit." Mama tersenyum sambil mengelus kepalaku dengan lembut. "Ayo kita doakan papa cepat pulang ke rumah ya?", ajak mama. Kami mengangguk setuju.

Jam 09.00 malam mama mengantar kami tidur. Sambil menyelimuti kami satu per satu mama menceritakan kisah dongeng bawang putih. Adik-adikku telah tidur nyenyak. Aku memejamkan mata karena aku tahu mama pasti lelah seharian ini. Aku juga ingin mama tidur nyenyak malam ini. Melihat anak-anak tidur mama mematikan lampu dan keluar kamar.

Hari telah larut malam, Aku masih terjaga dan mama belum juga tidur? Penasaran dan ingin tau dengan siapa mama berbicara. Aku turun dari ranjang dan mengintip diantara sela pintu. Ternyata Tante Mirna tetangga sebelah rumah kami. Mama memang sudah lama berteman dengan Tante Mirna. Ia adalah wanita yang baik hati. "Iya Mbak Mir, waktu diperiksa gula darahnya sangat tinggi sampai 700 dan itu terjadi mendadak.", nada mama terdengar sangat kuatir. "Kata dokter, harapannya sangat tipis.", mama mulai menangis. Tante Mirna menenangkan mama.

Mendengar semuanya itu, hatiku tidak tenang. Aku sangat kuatir dengan keadaan papa. "Tuhan, Engkau tahu aku jarang meminta apapun padamu. Tapi Tuhan untuk kali ini kumohon dengarkan dan kabulkan permohonanku Tuhan. Jagalah dia dan kembalikan ke rumah kami. Aku percaya Engkau pasti melakukannya Tuhan. Amin." Aku percaya Tuhan akan menyembuhkan papa. Setelah berdoa hatiku lebih tenang rasanya. Aku mencoba tidur karena besok aku harus bangun pagi berangkat ke sekolah.

Pagi hari ini aku terbangun. Tetapi kali ini mama tidak membangunkanku. Aku melangkah keluar kamar. Dengan langkah ragu aku memandangi orang-orang di dalam rumah. Mereka adalah orang-orang sekitar sini. Namun mengapa hari ini mereka berkumpul dirumahku? Tidak lama kemudian terjawab sudah. Aku melihat mama menangis tersedu-sedu, sementara beberapa orang berbicara menghiburnya.

"Jangan terus bersedih, ingat masih ada si kecil dalam perutmu yang harus di jaga baik-baik. Kita tidak bisa berbuat apa-apa selain merelakan kepergiannya..." Deg! Rasanya jantungku berhenti berdetak. Aku berteriak kepada mama, "Siapa Ma yang meninggal? Bukan papa kan? Mengapa semua orang berkumpul di sini? Papa masih di rumah sakit kan?" Lalu aku melihat sebuah peti ada di ruang tengah. Aku terkejut. Dengan langkah pelan kuhampiri peti itu dan memikirkan kemungkinan terburuk, yaitu melihat papa terbujur di sana dengan tubuh kaku. Ternyata apa yang aku takutkan terjadi.

Kenapaa? Papa bangun... bangun Paa... Papa tidak boleh meninggal. Aku mau papa." Aku menggoncang-goncangkan tubuh papa. Aku memberontak ketika beberapa orang menarikku menjauh dari papa.

Mama berlari memelukku erat-erat sambil menangis. Pintu kamarkupun terbuka. Semua adik-adikku berhamburan keluar. Kami menangis bersama-sama. Rasanya ini semua mimpi. Mimpi yang sangat buruk. Berjam-jam kami menangis.

Lalu aku beranjak, "Aku mau tidur lagi. Kalian ikut tidak? Nanti setelah bangun semua ini tidak ada. Ini cuma mimpi buruk. Semua orang yang berada di situ terdiam, mematung. Mama memandangiku dengan sedih. Aku melangkah masuk ke dalam kamar. Diikuti adik-adikku. Kami membenamkan diri ke ranjang kami sampai tertidur.

Setelah kejadian itu, mama berusaha mencari pekerjaan. Pagi-pagi ia sudah bangun. Beruntung rumah makan di jalan besar mau menerima mama sebagai kasir. Biasanya dengan perut yang membesar orang akan enggan untuk mempekerjakan.

Setelah kepergian papa. Mama jarang di rumah. Setiap pulang sekolah kami hanya menemukan secarik kertas yang memberitahukan ada makan siang untuk kami. Atau ada makan malam di kulkas yang harus dihangatkan dulu.

Aku kasian sekali pada mama. Di saat seperti ini sebenarnya mama sangat membutuhkan kehadiran papa. Sama seperti kami sangat merindukan papa. Aku selalu berusaha membantu mama. Dengan sekuat tenagaku. Aku belajar mengatur adik-adikku dengan baik. Menggantikan mama mengajari mereka. Bahkan aku sudah bisa memasak dengan bumbu-bumbu sederhana.

Mama bukan tipe wanita yang suka mengeluh. Ia menjalani hidup dengan senyuman yang bahagia. Kadang aku ingin mendengar mama menumpahkan isi hatinya. Namun tidak pernah terjadi.

Hari ini mama sakit perut. Tetanggaku Tante Mirna sudah mengantar mama ke rumah sakit, sementara aku akan berangkat ke sekolah. Bagaimanapun juga aku bahagia. Tidak sabar aku menunggu saat pulang. Kuharap adik cepat lahir dengan selamat tidak kekurangan suatu apapun. Aku tahu mama telah begitu repot bekerja untuk kami. Semenjak kepergian papa, mama bekerja di 2 tempat. Pasti mama sangat lelah. Kami semua telah sepakat akan membantu mama sebaik-baiknya. Kami akan belajar dengan baik sehingga mama senang melihat rapor kami.

Bel sudah berbunyi. Itu berarti waktunya pulang sekolah. Aku segera mencari adik-adikku. Oh, iya... kami semua bersekolah di sekolah yang sama. Sekolah kami sangat besar. Adikku yang terkecil ada di tk sekarang. Lingkungan sekolah kami hanya dipisahkan oleh pembatas tembok dengan sebuah pintu kecil. Saat jam sekolah SD usai pintu tersebut dibuka, jadi aku tinggal melangkah masuk menjemput adik.

Adikku ada di tk kecil, tk besar, kelas 1, kelas 2, kelas 3, kelas 4 dan aku di kelas 5. Kami berangkat dan pulang bersama-sama. Tetangga kami berkata, " Seperti sederetan serdadu kecil yang berangkat perang". Aku senang sekali pergi dan pulang bersama-sama seperti ini. Sepanjang perjalanan pulang kami saling menjaga dan bercerita tentang kejadian di sekolah.

Sesampai di rumah kami buru-buru cuci muka dan tangan lalu berganti baju. Kami mau menjenguk mama. Kami ke rumah Tante Mirna. Beliau berjanji akan mengantar kami ke rumah sakit sepulang sekolah. Sebelum berangkat aku menandai kalender. 12 Maret 1948, hari kelahiran adik bungsuku. Usianya terpaut 10 tahun denganku.

Sudah 30 menit kami berdiri dan memanggil tante Mirna. Tidak ada jawaban! Kemana ya Tante Mirna? Atau beliau lupa? Atau sedang belanja di warung? Tidak lama kemudian Tante Mirna muncul. Kami sangat senang. "Tante kemana? Kami sudah menunggu dari tadi lho... Ayo, antar kami ketemu mama dan adik bayi Tante... Sekarang yaa... "

Dengan wajah pucat dan suara terbata-bata karena menangis Tante Mirna menjelaskan kalau proses kelahiran berlangsung sulit. Mama dan adik bayi tidak tertolong. "Anak-anak, kalian tabah ya, jangan sedih. Mama bahagia di surga bersama adik."

Apa belum cukup dengan kepergian papa beberapa bulan lalu? Kenapa tidak mengambil kami bersama-sama juga? Aku mau mamaku... Aku mau papaku... Aku berteriak-teriak hingga semua orang mendengarnya. "Apa yang Engkau inginkan Tuhan? Kembalikan mamaku! Kembalikan papaku! Kembalikan orang tuaku." Aku jatuh pingsan.

Aku bermimpi... Berjalan dengan kaki telanjang. Berjejak di pasir hangat yang lembut. Aku terus berjalan, lalu rerumputan yang empuk membelai telapak kakiku. Hidupku begitu indah sempurna. Dan tiba-tiba jalanan ini membeku. Menjadi licin dan sulit ditapaki. Dingin! Sangat dingin! Aku berlari sekencang-kencangnya. Berharap semua ini hanya mimpi. Namun yang kuharapkan tidak terjadi. Kekuatan kakiku sudah habis. Malahan aku tiba di semak belukar. Dan aku berlari kembali sampai kakiku mati rasa. Dengan rasa tersiksa yang mendalam.

Mereka bilang aku adalah anak laki-laki yang gagah. Tetapi aku tetap seorang anak. Aku tidak tahu mengapa Tuhan tega melihatku seperti ini. Atau Tuhan sedang mengujiku. "Tidak! Aku tidak akan pernah menyerah! Aku punya 6 orang adik."

Guruku Ibu Endang, selalu mencoba berbicara dengan pelan kepadaku. Bahwa beliau bisa membantu biaya uang sekolah untuk 1 anak. Bahwa aku sudah menunggak 3 bulan untuk 7 anak. Bahwa hal itu sudah tidak dapat ditolerir lagi. Bahwa seharusnya aku meminta orang-orang di kampung untuk menyumbangkan sedikit uang untuk kami. Sehalus apapun dia mencoba berbicara. Intinya seperti itu.

Aku begitu merindukan papa dan mama. Dulu aku tidak pernah memikirkan bagaimana cara membayarnya. Mereka melakukan semuanya dengan baik. Sekarang kami makan nasi tetangga. Mereka bergantian mengundang kami makan. Aku tahu tidak mungkin ini terjadi terus menerus.

Di malam hari aku mendengar kalimat yang mereka ucapkan. "Keadaan sedang susah, kita tidak mungkin menolong mereka terus. Sedangkan kita sendiri kurang." Lalu yang lain menjawab, "Kita tetap tidak boleh tinggal diam, mereka masih anak-anak. Kita bisa menganggap mereka adalah anak-anak kita." "Tapi nyatanya bukan!", sahut yang lain.

Aku sadar benar tidak baik bergantung pada mereka. Aku sebagai anak tertua harus bertanggung jawab terhadap keluargaku. Aku akan bekerja dan mencari uang. Malam telah tiba, aku mencari Tante Mirna tetanggaku. Cuma dia satu-satunya yang dekat dengan keluarga kami.

Awalnya dia tidak setuju usulku ini. Namun karena tekadku sudah bulat dia berjanji akan membantuku mencari pekerjaan. Tante Mirna memang hebat. Mulai Senin depan aku sudah mendapatkan pekerjaan. Pagi hari aku akan berjualan koran. Siang harinya bekerja di rumah makan. Lalu sore hari aku akan mengambil baju-baju kotor milik tetangga.

Kali ini kami tidak perlu lagi meminta makanan pada tetangga. Uangnya pasti cukup untuk biaya hidup dan bersekolah. Lega sekali rasanya.

Aku tidak masuk sekolah berhari-hari. Tentu saja, tidak mungkin aku hadir di dua tempat. Kabarnya guruku Ibu Endang beberapa kali datang ke rumah mencariku. Tetangga yang memberitahuku. Mereka juga sudah memberitahu kalau aku sudah bekerja.

Hari ini setelah berjualan koran, aku sengaja datang ke sekolah untuk berbicara pada wali kelasku. Beliau sedih namun memahami keputusanku.

Hari ini ketika bangun pagi aku mendengar suara anak kecil yang riang. Buru-buru aku melangkah ke depan rumah mencari suara anak itu. Aku sampai di jalan depan rumah. Di sana ada sebuah bangunan kelenteng tua. Lalu aku melihat seorang anak digandeng kedua orang tuanya memasuki bangunan tersebut. Aku mengamati dari kejauhan. Ia terlihat sangat bahagia. Mamanya menggandeng di sebelah kiri. Dan papanya menggandeng di sebelah kanan. Lalu dengan lincah si bocah melepaskan diri dan berlarian di pelataran. "Hati-hati, sayang!" Teriak mama. Tiba-tiba papa menghampiri, mengangkat tinggi-tinggi. Mereka berputar-putar sambil tertawa kegirangan.

Aku sangat iri. Iri sekali pada mereka. Mengapa mereka terlihat sangat bahagia. Aku sangat rindu papa dan mama. Melelahkan sekali hidup tanpa mereka. Aku kelelahan secara batin dan fisik.

Tujuh belas tahun telah berlalu sejak mama meninggal. Andaikan waktu kembali berputar. Aku pasti lebih menyayangi dan menghargai mereka. Aku tahu hanya bisa mensyukuri yang kupunyai sekarang ini, yaitu adik-adikku. Mereka sudah dewasa sekarang. Beberapa dari mereka memiliki profesi perkerjaan yang membanggakan. Aku bahagia telah menjadi kakak yang mendukung dibelakang mereka.

Sebenarnya melalui semua kesulitan ini, aku telah menjadi seseorang yang berbeda. Aku bukan Yofa anak yang polos dan ceria. Aku adalah Yofa pemuda yang dewasa dan bahagia. Orang-orang melihat hidupku menyedihkan. Namun aku bahagia Tuhan mengujiku sedemikian rupa sehingga aku lebih unggul dibanding yang lain. Prosesnya telah mendewasakan aku.

Hari ini sepulang kerja aku berjalan cepat-cepat. Hari hampir hujan dan aku belum mengambil cucian tetangga. Tiba-tiba aku melihat seorang anak perempuan. Mungkin umurnya baru 10 tahun. Ia sangat cantik. Langkahku terhenti memandanginya. Entah kenapa aku tidak melihatnya sebagai anak kecil. Ia sedang bermain bola bekel bersama teman-temannya di ujung jalan. Letaknya tidak jauh dari rumahku.

Sesampai di rumah aku masih terus memikirkannya. "Siapa dia? Mengapa baru kali ini aku melihatnya? Ia bermain di sekitar sini. Apakah tempat tinggalnya dekat dengan rumahku? Dia sangat cantik, sepertinya dia berdarah campuran. Berapa umur sesungguhnya? Aku berharap dia 15 atau 16 tahun dan bukan 10 tahun. Aahh... kenapa aku ini? Kenapa berpikiran aneh seperti ini?" Aku memukul-mukul kepalaku seperti ada yang salah.

Adikku bilang dia adalah anak yang pendiam. "Memangnya kenapa? Kakak menyukainya ya? Tidak biasanya kakak bertanya seperti itu?" Dengan gelagapan aku menjawab, "Tidak, tentu saja tidak. Aku hanya ingin tahu saja." Walaupun tidak masuk akal, rasanya aku benar-benar jatuh cinta padanya. Umurku terpaut 17 tahun dengannya. Apa aku sudah gila? Aku kembali memukul kepalaku. Berharap rasa ini hilang begitu saja.

Memikirkannya saja sudah membuatku hampir gila. Orang bilang mencintai anak kecil berarti ada kelainan seks. Apakah aku termasuk didalamnya? "Ahh... apa yang harus kulakukan?" Aku bergumam sendiri. Karena tidak tahan lagi, aku mencoba bercerita pada adik-adikku sendiri.

"Apaaa? Apa kakak sudah gila? Dia kan masih kecil kak? Kakak mau menunggu sampai kapan? Sampai dia besar? Kakak sudah 27 tahun. Sudah saatnya punya pendamping yang sepadan. Aku kenal beberapa gadis yang cantik dan baik hati. Nanti aku kenalkan kepada kakak." Mereka mengeroyokku sekarang. Sepertinya aku mengambil langkah yang salah dengan menceritakan hal ini pada mereka.

Lalu tidak terasa umurku sudah 35 tahun sekarang. Adik-adikku bahkan sudah menikah. Mereka menyebutku 'joko tuo'. Di daerah ini jika seorang laki-laki atau perempuan terlambat menikah akan mendapat sebutan. Joko tuo atau perawan tua. Memalukan.

Mungkin tidak masuk akal, tetapi aku masih menantikan Elisabeth. Sekarang dia berumur 18 tahun. Kabarnya dia memiliki seorang pacar yang sangat tampan dan kaya. Aku tahu pacarnya itu banyak teman wanita. Dia tidak begitu setia. Kuharap dia tidak memperalat Elisabeth.

Delapan tahun ini aku belum juga mengenalnya. Aku hanya mengamati dari jauh. Dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Boleh dibilang gadis tercantik di kotaku. Hampir semua pria mengejarnya. Aku tidak memiliki keberanian untuk mendekatinya. Apalagi mengejarnya. Rasanya diriku tidak pantas untuknya. Sampai suatu hari seorang paman yang tinggal beberapa blok dari rumahku menghampiriku.

"Hei... Bukankah kamu ingin mengenal gadis cantik itu? Ayo ikut aku..." Aku ragu-ragu, namun kuikuti juga paman itu. Aku tiba dirumahnya. Ternyata paman ini teman dari mama Elisabeth. Hari itu akhirnya aku berkenalan dengan Elisabeth.

Gadis cantik yang kulihat dari kejauhan. Ternyata dari dekat dia lebih cantik. Pandangan matanya menyiratkan kepolosannya. Hidungnya mancung tinggi dengan bola mata coklat terang. Kulitnya putih bersih. Bibirnya mungil merah muda. Aku terpesona saat dia berkata-kata, suaranya sangat lembut. Gaya pakaiannya sederhana. Sungguh ciptaan sempurna.

"Tuhan, berikanlah gadis ini kepadaku dan aku akan mencintainya seumur hidupku. Aku akan setia sampai mati." Aku berjanji di dalam hatiku.

Beberapa hari kemudian aku melihat Alex pacar Elisabeth. Dia mengajak beberapa orang wanita. Aku mengikutinya dengan diam-diam. Ternyata mereka berenang bersama-sama. Entah mengapa aku merasa terluka melihat perbuatannya. Dia beberapa kali terlihat terlalu 'dekat'. Mereka berpeluk-pelukan dan berangkulan mesra.

Aku segera pergi dari situ. Berlari sekencang-kencangnya mencari Elisabeth. Menceritakan apa yang aku lihat dan mengajaknya ke tempat itu untuk melihat kelakuan Alex. Kami mengintai dari jauh. Kulihat di mata Elisabeth kesedihan yang amat mendalam. Kekecewaan jelas terlihat diwajahnya. Aku baru menyadari kalau Elisabeth benar-benar mencintai pria ini. Aku jadi ragu yang kulakukan ini benar atau salah.

Berhari-hari Elisabeth mengurung diri di kamarnya. Kata mamanya ia tidak mau ditemui siapapun. Ia juga tidak berselera makan. Aku berpikir ini semua salahku. Akhirnya kuberanikan diri untuk menemuinya. Aku minta ijin kepada mamanya untuk mengetuk kamarnya. Aku membawakan beberapa camilan kesukaannya. Galundeng. Entah apa nama lainnya. Tapi di sini semua orang menyebutnya demikian.

Dia membukakan pintu untukku. Lalu kami duduk diteras melihat orang berlalu lalang dan mengobrol soal kejadian waktu itu. Aku meminta maaf telah membuatnya sedih. Tapi dia malah berterima kasih kepadaku.

Sejak kejadian itu kami sering bertemu. Aku mengajaknya keluar beberapa kali, berjalan-jalan dan menonton bioskop. Hubungan kami makin hari makin dekat. Aku menyatakan cintaku padanya. Dan ia menjawab melalui sebuah surat.


Untuk Yofa,

Halo Yofa apa kabar? Kau tahu aku tidak pandai berkata-kata. Kuharap penjelasanku membuatmu lebih mengerti keadaanku sekarang ini.

Awalnya aku mengira kita hanya teman biasa. Dan kau menganggapku sebagai adik. Kau tahu kan selisih umur kita? Tujuh belas tahun! Kuharap engkau masih mengingatnya.

Menurutku kau memang berbeda dengan beberapa temanku. Yang kurasa cukup dekat denganku. Atau bersahabat denganku. Mereka semua mengawali pertemanan dengan baik. Namun beberapa diantaranya memberi kesan yang menyedihkan terhadapku.

Kau juga tahu rumahku yang di jalan besar. Di depan gang rumahmu. Sudah di jual oleh orang tuaku. Kuharap kau juga mengetahui kebenaran lainnya. Bahwa papaku telah bangkrut. Hidupku sekarang bukan seperti yang dulu. Kurasa kau telah tahu. Tapi aku ingin menjelaskan padamu. Orang tuaku tidak memiliki apapun untuk diberikan padamu. Bahkan keadaan kami lebih parah dari yang terlihat.

Setelah kepindahanku di rumah baru, aku selalu memintamu berdiri di depan rumah. Tidak pernah mempersilahkanmu masuk. Aku terlalu malu dan tidak percaya diri.

Sebelum itu seorang teman laki-lakiku mampir ke rumah. Melihat rumah baruku. "Ya ampun, Elisabeth. Mengapa rumahmu seperti ini? Seperti pemukiman kumuh. Mamaku pasti akan marah jika aku melanjutkan hubungan denganmu. Maaf ya..."

Ia bukan siapa-siapa. Bahkan tidak ada dihatiku. Namun kata-katanya menyakitkan bagiku. Lalu beberapa temanku yang lain mulai menjauhiku.

Entah kenapa kau begitu berbeda dari mereka. Kau tetap baik padaku. Kuharap lubuk hatiku tidak salah. Bagaimana mungkin aku menolakmu. Pria yang selalu menemaniku. Selalu ada untukku. Ya, aku mau menjadi kekasihmu. Walaupun orang-orang akan memandang kita aneh.

Dengan tulus,
Elisabeth

Kegirangan hatiku membaca jawaban surat itu. Aku memberanikan diri meminta restu pada orang tuanya. 7 November 1977 adalah hari pernikahan kami. Uang kami tidak banyak. Jadi kami merayakannya secara sederhana. Aku menyewa sebuah restoran kecil. Mengundang keluarga dan teman-teman kami.

Alex datang juga ke pernikahan kami. Ketika memberi selamat dia berkata kepada Elisabeth. "Aduh menyedihkan sekali, jadi kamu memilih orang tua ini? Dan kau... terima kasih sudah mengambil apa yang tidak kuinginkan lagi." Sebenarnya aku sangat marah mendengarnya. Namun rasa bahagiaku telah mengalahkan kemarahanku. Aku anggap saja dia orang gila yang sedang kambuh.

Usiaku saat ini 38 tahun. Usia Elisabeth 22 tahun. Kami terpaut 17 tahun. Orang bilang kami seperti ayah dan anak. Namun aku tidak peduli. Begitu juga dengan Elisabeth. Beberapa teman Elisabeth mengira dia matre. Benar-benar tidak beralasan. Karena aku sama sekali tidak kaya.

Setelah menikah aku mulai membuka toko onderdil kendaraan bermotor. Aku meninggalkan rumah lamaku untuk adik-adikku. Sedangkan kami pindah di rumah kecil seluas 70m2. Walaupun kecil kami sangat bahagia.

Beberapa tahun setelah itu Tuhan membalas semua yang baik sebagai ganti yang tidak baik di masa laluku. Tiba-tiba seseorang mau menukar rumah kami hanya dengan menambah sedikit uang. Rumah kami membesar menjadi 3000m2. Aku menjual sebagian sebagai ruko dan menyisakan 1500m2 untuk kami tinggali.


Sekarang aku masih hidup dan berumur 77 tahun. Dan istriku Elisabeth berumur 60 tahun. Aku baru mengerti arti hidup sesungguhnya. Bahwa kita semua jatuh bangun melalui ujian kita. Sesuai dengan kekuatan kita masing-masing. Roda akan terus berputar. Tidak peduli kita berada di atas atau di bawah. Yang terpenting adalah kita memilih untuk berjuang atau menyerah. Untuk bahagia atau untuk meratapi nasib. Untuk menjadi dewasa atau semakin kekanak-kanakan. Karena hidup itu adalah pilihan.

Hidup telah mengajarkan aku untuk berlari. Bukan berjalan dengan santai. Aku berlari dengan tujuan yang pasti. Walau kadang melewati jalan yang dingin atau bahkan berduri. Namun aku tahu pasti bahwa aku harus mencapai garis finish. Dan menyelesaikan pertandinganku.

Cerita ini diambil dari tokoh nyata yaitu papaku. Dan diikutkan dalam kompetisi blogger Gramedia. Tidak 100% benar. Tetapi dibuat mirip dengan imajinasi dan bahasa yang berbeda sesuai karakter penulis.

If you want to be a writer. Write.


Saturday, October 31, 2015

Gramedia Dihatiku


Waktu itu kira-kira umurku 10th, mungkin sekitar kelas 4 SD. Ya... Tepat ada di sana! Ingatanku melayang menuju ke masa silam, sekitar 25 tahun yang lalu. Hari itu sudah menjelang sore, "Indah sekali cahaya di sana!". Entah mengapa, aku begitu menyukai pemandangan ini. Sebisa mungkin aku sempatkan diri untuk melihatnya. Setiap hari! "Engkau begitu mempesona. Taukah kamu? Setiap aku memandangmu, keindahanmu tidak pernah sama!", seruku dalam hati. Aku juga tidak peduli jika seseorang menganggapku gila karena aku bercakap-cakap dengan matahari.
Aku tumbuh di sebuah kota kecil yang nyaman dengan orang-orang yang ramah dan buku-buku yang berlimpah. Tidak heran kan jika tempat ini di sebut kota pelajar? Aku merasa begitu beruntung, karena Tuhan sudah menempatkan aku di tengah-tengah keindahan ini.
Sore itu kaki kecilku melangkah dengan cepat. Menuju satu-satunya "kota buku" pertama, terbaik dari yang pernah kukenal. Mungkin Anda merasa berlebihan ketika aku menyebutnya kota. Mungkin juga Anda mengira aku salah menuliskan katanya.
Namun gadis cilik ini tidak melihat sebuah toko buku. Dengan berat badan yang belum mencapai 20kg atau mungkin hanya 16kg, aku melihat dengan mata yang berbeda. Yeah.. sebuah kota tersendiri. Kota favoritku. Tempat yang membuatku hidup lebih baik, tumbuh lebih dewasa dan mewujudkan mimpi!


Berawal dari kota kecil dan dimulai dari kesukaanku membaca buku. Perjalananku bersama Gramedia yang sesungguhnya di mulai. Kalau diingat kembali peristiwa ini bermula ketika orang tuaku mengajak aku dan adikku untuk membeli beberapa buku yang mereka perlukan. Aku bersama-sama adik laki-lakiku turut mampir ke Gramedia. Sesampai di sana kami berlarian dan tertawa-tawa sementara orang tua kami memilih-milih buku. Lalu tiba-tiba datang seorang Bapak Satpam berkumis tebal, bertubuh besar dengan kulit yang agak gelap. Kami ketakutan melihat tampang galaknya. Namun yang mengejutkan Beliau tidak datang untuk memarahi kami. Dengan suara yang lembut Beliau mengajak dan menggandeng tangan kami. Memperlihatkan buku koleksi bergambar yang sangat indah. Hmm, Kami belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya. Lalu segera dengan cepat tangan mungil kami memilah-milah buku, melihat-lihat gambarnya dan menyimpannya beberapa untuk di bawa kepada mama dan papa. Hari itu aku dan adik laki-lakiku dibelikan beberapa buku bergambar sederhana.


Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, aku telah beranjak dewasa. Bukan lagi cergam Tintin, Asterix atau Agen 212. Juga bukan komik saku Marichan, Kungfu boy, Dragon Ball atau Conan. Kali ini aku mendapatkan buku-buku pengetahuan untuk bahan kuliah. Pernah suatu saat uangku habis setelah membeli beberapa buku yang harganya cukup menguras dompet. Tapi aku masih menginginkan sebuah buku lagi. Kupikir isinya cukup menarik. Diam-diam aku mengambil lembar catatan beserta pulpen dari tasku. Dengan mengendap-endap aku menyendiri di satu tempat yang sunyi dan mulai mencatat isi buku yang kuanggap penting.
Tiba-tiba datanglah seorang satpam bertubuh kerempeng, menegur dengan nada cempreng yang menyebalkan. "Mbak dilarang mencatat isi buku, tolong kembalikan buku itu di tempat semula!" Aku mencoba berdalih, " Tapi Pak, Aku cuma mencatat sedikit saja, boleh ya... 15 kalimat aja deh..." Lalu dengan percaya diri, aku menunjukkan sekantong buku yang kubeli di sini dengan plastik berlogo khas Gramedia. "Lihat Pak, Aku sudah beli banyak, uangku tidak cukup untuk membeli lagi, ijinkan Aku mencatat sedikit saja yaa? 15 kalimat saja.." Lalu pak satpam menjawab, "Tidak boleh! Memangnya di sini perpustakaan umum? Tolong bukunya dikembalikan ya Mbak."
"Ughhh, Dasar satpam kerempeng yang menyebalkan!" gerutuku dalam hati. "Masa 15 kalimat saja tidak boleh! Keterlaluan! Benar-benar pelit.. pelit.. pelit!" Aku berjalan lambat-lambat dengan langkah gontai. Kubiarkan rambutku menutupi lebih dari setengah mukaku, sambil berharap tidak ada yang melihat kejadian yang memalukan ini. Sesampainya di rumah, setelah berganti baju, mandi sore dan bersantai, aku membuka bungkusan plastik Gramedia tadi.
Sambil melihat-lihat isi buku yang kubeli, pikiranku kembali melayang ke peristiwa siang tadi. "Hmm, Mungkin benar juga satpam tadi. Beliau cuma menjalankan tugasnya dengan baik. Karena bisa-bisa aku mencatat 15 kalimat yang sangat panjaaang sekalii... tanpa tanda koma dan titik" gumamku sambil terkekeh-kekeh sendiri.


Tahun demi tahun berlalu dan aku mempunyai pacar lalu menikah! Dengan kemampuan memasak nol besar. Aku kembali ke Gramedia dan mencari buku-buku memasak. Sebenarnya tanpa buku-buku tersebut aku masih bisa terjun ke dapur memasak Indomie dengan telor ceplok kesukaanku atau telur dadar. Tapi astaga.. Sebagai istri yang baik masa aku melakukan itu? Tentu saja tidak!
Setelah itu aku mendapat kejutan besar. Aku hamil! Aku melihat muka suamiku berseri-seri. Aku merasakan hentakan-hentakan kecil diperutku. Aku kembali bersyukur ketika teringat betapa Tuhan mencintaiku. Membuatku merasakan semua keajaiban ini. Dengan kebahagiaan yang luar biasa, aku kembali ke Gramedia dan mencari buku-buku panduan tentang kehamilan, tentang membesarkan buah hati. Aku berusaha hidup dengan lebih baik setiap hari. Dan membuat semua yang ada disekitarku menjadi lebih baik.
Saat ini mungkin usiamu sudah tua. Dan aku bukan lagi gadis cilik yang berlari kecil ke arahmu. Tetapi aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku menyimpanmu di dalam hatiku.. sampai detik ini. Aku membiarkan anak laki-lakiku dan anak perempuanku berlarian dengan langkah kecil yang lucu ke arahmu. Setelah itu mereka dengan mata yang berbinar-binar dan semangat yang meluap-luap, membaca menggunakan suara terbata-bata dipojokan. Selanjutnya, tentu saja.. membawa pulang setumpuk buku dengan gambar-gambar yang mereka sukai.
Seperti caraku melihat matahari terbenam dengan keindahan yang selalu berbeda. Demikian juga aku memandang Gramedia. Aku juga terus percaya, kalau Gramedia selalu mampu untuk melakukan dengan lebih baik. 


Ada banyak toko buku di Indonesia. Sama-sama berbentuk toko dan menyediakan buku-buku yang kurang lebih sama. Namun Engkau sebagai pelopor memiliki cara yang berbeda, ide yang berbeda dengan inisiasi dan inovasi baru yang berbeda sesuai dengan perkembangan jaman yang terus berubah. Engkau bukan sekadar rumah buku... atau surga buku. Engkau hidup! Di hati banyak orang dengan banyak arti dan menjadi teman sejati bagi kami semua.
Terima kasih Gramedia.