Monday, July 18, 2016

Hope for Your Family #3 sambungan 1

Jika aku menulis, kadang aku selalu mengandaikan sebagai pihak pertama yang berbicara langsung pada pelaku. Hal itu sama sekali tidak bermaksud menyinggung orang yang membaca, apalagi menuding secara langsung. Lagipula rasanya ceritanya lebih mengalir dengan versi seperti itu. Berhubung semalam sudah ngantuk sekali. Baru lanjut sekarang. Moga-moga nyambung...

Kisah kedua menceritakan seorang anak yang tinggal dengan orang tuanya. Ayahnya seorang pemburu. Setiap hari ia berburu binatang, membawa pulang hasil buruannya dan menyembelihnya di rumah. Di depan anaknya yang masih kecil, berumur 2 tahun. Seorang anak yang masih polos melihat adegan pembunuhan binatang-binatang itu setiap hari. Lalu setiap ayahnya memotong binatang buruan ia mencicipi percikan darahnya. Entah itu kelinci, ular, rusa bahkan hewan buas. Mereka pikir tidak apa-apa. Memupuk benih kecil dalam dirinya. Tidak terjadi apapun terhadap anak itu. Namun anak itu terus melihat darah dan mencicipnya. Lama kelamaan muncul naluri sadisme dalam dirinya. Tidak seorangpun tahu. Tapi ia suka melihat darah. Selalu ingin mencicipi darahnya dan coba sedikit menghisapnya sekali waktu.

Setelah besar dan meninggalkan rumahnya. Bertemu dengan teman-teman baru dengan pergaulan buruk. Membutuhkan uang yang banyak untuk bersenang-senang. Ia mulai berpikir jahat untuk bertindak nekad. Seperti slogan kebanyakan orang. 'Muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga'. Kalau bisa...

Pendek kata ia menyantroni sebuah rumah besar milik orang kaya. Membunuh dengan sadis 4 orang yang merupakan 1 keluarga hanya dengan sebuah pisau. Pembunuhan seperti ketika ia melihat daging buruan. Bukan hanya mengincar harta, ia juga suka melihat banyak darah.

Pada akhirnya ia tertangkap juga. Ketika diketahui ia memiliki jiwa sadisme pemerintah memutuskan untuk dieksekusi. Beruntung Bapak Samuel masih melayani dia untuk konseling. Akhirnya ia menyadari kesalahannya. Meminta ampun pada Tuhan dengan air mata bercucuran. Saat itu ia terlihat sangat butuh sebuah pelukan. Bapak Samuel memeluk dia walau sepertinya dia sudah lama tidak mandi. "Tinggal besok saya akan di eksekusi. Apakah Tuhan masih bisa mengampuni saya dan tidak membuang saya ke neraka?", tanyanya sambil menangis.
"Ya, Tuhan dapat melakukannya. Tergantung dari dalam lubuk hatimu, jika benar-benar menyesal."
"Saya sangat menyesal."
Perjalanannya selesai sampai di sana, Nusakambangan.

Selain perkataan minta maaf, bahasa maaf kedua adalah bahasa tubuh yang benar. Perkataan maaf mempengaruhi orang lain sebanyak 20%. Namun ketika kita minta maaf, bahasa tubuh dan intonasi perkataan kita mempengaruhi 80%.

Bersambung...

No comments:

Post a Comment