Sunday, July 10, 2016

Hope For Your Family/ Harapan Untuk Keluarga Anda #1

Handling Differences and Solving Problems
(Menangani Perbedaan dan Menyelesaikan Konflik)

Kau dan aku memiliki sebuah keluarga. Dalam keadaan baik atau buruk inilah milikku dan milikmu. Serumit apapun hubungan yang kualami dalam keluargaku, aku mengingatnya. Ada Tuhan bagi keluargamu dan keluargaku.

Kita tentu menyadari adanya empat FASE hubungan:

1. Fase Bulan Madu
Sebuah fase di mana semuanya terasa begitu baik, indah dan menyenangkan. Seperti ketika kau akan menikah atau saat berpacaran. Jika kukatakan, "Dia pelit". Kau akan membelanya. "Tidak, dia tidak pelit. Dia hemat. Bijaksana terhadap pengeluarannya." Lalu kau mengatakannya lagi. "Nah, kalau dia itu kasar. Nanti kau menyesal". Tentu saja aku menjawabmu, "Dia tidak kasar. Dia itu tegas." Itulah fase di mana semuanya terlihat baik di matamu.

2. Fase Konflik
Sebuah fase di mana perbedaan mulai terasa dan konflik mulai terjadi. Ketika ia terus menerus menekanmu. "Tidak boleh membeli ini, tidak boleh membeli itu! Kau boros sekali. Pakailah produk perawatan sederhana!" Satu dua hari tidak terasa mengganggu. Namun setelah berbulan-bulan pertengkaran tak terhindarkan lagi. Sama halnya dengan pasangan bernada kasar. Setelah melewati hari-hari bersama. Siapa yang tahan terus-menerus dimarahi? "Sudah kelewatan! Ini benar-benar keterlaluan!"

3. Fase Penyesuaian
Sebuah fase dimana kita mulai berusaha mengatasi perbedaan dan menyelesaikan masalah.

4. Fase Penentuan
Sebuah fase yang menentukan hubungan akan rusak atau justru lebih indah.

Sebenarnya bagaimana cara menangani perbedaan dan menyelesaikan konflik dengan benar?
1. Bertumbuh dewasa bukan secara fisik melainkan secara rohani.
2. Memiliki kepekaan untuk mendengarkan dan memahami.
3. Mempunyai hati yang melayani keluarga.

Tingkat kedewasaan kita akan menentukan cara kita mengatasi perbedaan, dan cara kita menangani perbedaan akan menentukan hasil akhir sebuah konflik. Seperti yang kau tahu, seorang yang memiliki konflik dengan tingkat kedewasaan rohani yang baik. Ia akan melihat situasi, lalu berusaha menyesuaikan diri. Memperbaiki diri untuk mendapatkan hubungan yang lebih baik. Beda halnya dengan seorang tanpa kedewasaan secara rohani. Ia justru akan menuntut orang lain untuk berubah. Tidak mau menyesuaikan diri atau berusaha memperbaiki hubungan.

Kau tetap bersikap baik, sekalipun orang lain sikapnya tidak baik. Perkataan dan perbuatanmu mencerminkan pribadi Tuhan. Itulah dewasa rohani. Kisah yang sungguh nyata dari dirimu. Ketika ia berlaku tidak setia. Menghianatimu berkali-kali. Kau menangis. Sangat marah. Tidak mau berbicara dengannya. Beberapa waktu setelah konseling itu, kau kembali seperti semula. Menyediakan segala sesuatu untuknya, seakan-akan ia tidak pernah melakukan kesalahan. Sampai suatu ketika, engkau memergoki sedang menelepon selingkuhannya. Dulu, kau akan menjerit histeris. Kali ini tidak. Kau tetap menghidangkan sarapan untuknya. Tanpa sepatah kata. Dia yang terheran-heran dan penasaran bertanya kepadamu. "Mengapa kau tidak marah?" Tapi kau malah menjawab, "Maafkan aku, mungkin aku belum berhasil menjadi istri yang baik. Mulai sekarang aku akan berusaha untuk menjadi istri yang baik untukmu". Ketika ia mendengar perkataanmu. Air matanya tidak terbendung. Tanpa bisa ditahan lagi, ia memelukmu dan berkata, "Maafkan aku. Aku tidak akan melakukannya lagi. Aku tidak akan menyakiti hatimu lagi." Sejak saat itu kehidupan rumah tanggamu dipulihkan. Berbahagia, sampai sekarang.

Sungguh aku sendiri merasa kau itu luar biasa. Kedewasaanmu menginsipirasiku dan orang-orang yang mengetahui kisahmu. Biasanya ketika mendengar, "Hai istri tunduklah pada suamimu.. Hai suami kasihilah istrimu.." Maka yang terjadi adalah istri berkata, "Kasihilah dulu istrimu ini". Dan suami berkata, "Tunduklah dulu pada suamimu.." Bukan taat melakukan perintah, malahan saling menuntut terlebih dahulu. Padahal sudah jelas perintah-Nya. Hendaklah saling mendahului dalam memberi hormat. Saling lebih dahulu memulai untuk mengasihi. Saling kebih dahulu untuk melakukan perintah. Namun bagiku sendiri terkadang hal itu juga terlewatkan.

Menurut riset, masing-masing orang mendengar selama 17 detik. Bahkan ada orang-orang yang hanya mendengar selama 10 detik. Padahal seharusnya kita mendengarkan selama 3 sampai 5 menit. Mencerna perkataannya 3 sampai 5 menit. Lalu kita masih harus bertanya apakah maksudnya seperti itu? "Oh, bukan seperti itu. Tapi begini...". Itulah sebabnya banyak sekali terjadi salah paham dan konflik. Apalagi dalam sebuah keluarga. Kita selalu memotong pembicaraan seakan-akan sudah mengerti kelanjutannya. Parahnya lagi ketika dijelaskan kita tetap merasa maksudnya seperti di pikiran kita. Sebenarnya siapa yang berbicara? Anda atau saya?

Orang hanya mau terbuka untuk mendengarkan apa yang ingin kita katakan, kalau mereka sudah merasa bahwa kita mengerti apa yang mereka maksudkan. Kalau aku marah-marah karena salah paham dengan omonganmu. Tentu kau malas mendengarku yang meributkan hal kosong. Apalagi jika kau tidak diberi waktu lagi untuk menjelaskan.

Urutannya adalah MENDENGARKAN 》MEMAHAMI 》MENCARI SOLUSI. Pola seperti ini akan membuat semua pihak senang dan menang.

Di dalam keluarga misi kita juga sama. Mempunyai hati yang melayani keluarga. Hati yang melayani itu memberi, bukan menuntut.

No comments:

Post a Comment