Friday, December 18, 2015

Charles Martell dari Aula John Calvin


Charles Martel bukan siapa-siapa. Sementara Abdul Rahman adalah panglima perang hebat. Ia memenangkan dan merebut daerah di mana-mana. Kini ia telah menuju kepada Bangsa Frank. Bangsa Frank saat itu lemah. Eropa dilanda wabah dua kali. Pada abad ke-7 dan ke-14 (kalau saya tidak salah dengar). Wabah yang sangat mematikan yang membuat kota-kota sepi dan sunyi. Membunuh lebih dari 1/2 penduduknya. Bahkan banyak desa yang jika kita kunjungi. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain amat jauh.

Ketika mereka mendengar pasukan Abdul Rahman sedang menuju ke arah mereka. Ketakutanlah mereka. Patahlah hati mereka. Dengan terburu-buru mereka mengumpulkan tentara. Terkumpul sekitar 9.000 orang tentara. Tentara inipun bukan benar-benar tentara melainkan tentara cabutan. Apa itu tentara cabutan? Bangsa Frank kebanyakan bekerja sebagai petani. Mereka menabur benih kemudian menunggu saat panen. Di sela saat-saat panen itu tidak ada yang mereka kerjakan. Mereka inilah yang kemudian di bayar dan di rekrut menjadi tentara cabutan. Jadi Anda terbayang kan apa yang akan terjadi?

Tidak ada pemimpin perang yang berani pada saat itu. Mereka sudah yakin akan hancur. Membayangkan 45.000 pasukan terlatih dari Abdull Rahman. Lalu muncullah Charles Martel. Ia tidak menyetujui konsep tentara cabutan. Lalu mau apa? Tanya orang-orang itu. Bagaimana kalau tidak pakai tentara cabutan? "Aku mau tentara fulltime bukan part time. Aku mau tentara yang terlatih.", jawabnya. "Apa kau sudah gila? Dengan tentara fulltime kita harus bertanggung jawab atas keluarganya juga. Kita harus menggaji mereka. Uang dari mana? Tidak bisa! Kita tidak punya uang. Kecuali engkau yang membayarnya".

"Aku yang akan membayarnya", jawabnya. Tahukah Anda darimana uangnya? Dari biara. Anda tau kan biarawan atau biarawati rajin sekali. Mereka membuat kerajinan, melukis, menulis karya sastra. Ketika itu menumpuk sangat banyak sementara mereka terus membuatnya. Hasilnya di jual sebelum memenuhi biara mereka. Ketika di jual dan mendapatkan uang. Untuk apa uang itu? Makan? Mereka tidak makan daging dan makan kadang 1 haripun hanya 1 kali. Itupun jika tidak puasa. Baju? Mereka memakai baju yang itu-itu saja sepanjang umur hidup mereka. Jadi mereka butuh uang yang sangat sedikit di sepanjang hidup mereka.

Charles Martell mendatangi biara dan bertanya kepada mereka. "Anda punya uang yang sangat banyak kan?" "Ya, tapi itu uang Tuhan", sahut mereka dengan hati-hati. "Bolehkah aku meminjamnya?" 
"Mau digunakan untuk apa?" 
"Untuk perang."
"Itu uang Tuhan", sahut mereka mengingatkan.
"Untuk perang Tuhan. Jika tidak kita semua akan mati. Dan uang itu juga akan dirampas", tegas Charles Martell
"Baiklah engkau boleh meminjamnya", mereka mengijinkan.

Para pemimpin bahkan pemimpin gereja tidak setuju. Mereka sangat marah ketika Charles Martell mengambil uang biara. Namun tidak ada yang dapat berbuat apa-apa. Sebab keadaan mereka sangat terjepit waktu itu. Waktunya tinggal beberapa bulan. Pasukan Abdul Rahman sedang menuju ke negara mereka. Charles Martell merekrut dan membuka lowongan tentara. Akhirnya terkumpullah 30.000 orang. Dalam bulan-bulan itu mereka berlatih setiap hari siang dan malam. Mereka bersiasat dan menyebarkan kabar burung bahwa telah terkumpul 50.000 pasukan terlatih. Hal ini sampai ke telinga Abdul Rahman.
"Pengawal, apakah benar pasukan musuh ada 50.000 orang?", tanya Abdul Rahman.
"Saya tidak tahu keadaannya, tapi saya dengar demikian."
"Bukankah kemarin dikatakan hanya 9.000 orang?"
"Iya kemarin saya juga mendengar begitu."
"Lalu kenapa sekarang jadi 50.000?"
"Saya kurang tahu".

Setelah itu sampailah pasukan Abdul Rahman di satu tempat. Mendirikan kemah-kemah perbekalan. Kemudian mereka berhadap-hadapan. Selama 2 minggu. Lho? Sebenarnya mau perang nggak? Mau. Mereka tidak mau gegabah. Bagaimanapun juga 30.000 dibilang 50.000 tidak kelihatan. Susah hitungnya. Dan susah memprediksi kebenarannya.

Selama 2 minggu itu sebanyak 10.000 pasukan Charles Martell mengitar ke belakang dan mencuri kemah-kemah perbekalan mereka yang juga berisi harta rampasan. Sementara itu di garis depan. Pasukan Charless Martell pura-pura ketakutan dan diam. Akhirnya perbuatan merekapun ketahuan. Pasukan Abdul Rahman segera mundur ke belakang untuk menyelamatkan perbekalan dan harta rampasan yang sudah mereka peroleh selama ini. Segera setelah melihat mereka mundur. Charles Martell memerintahkan untuk memukul mereka kalah.

Setelah kejadian itu bahkan bangsa Frank meminta Charles Martell menjadi raja. Namun dia tidak mengambil kesempatan itu.

Kemarin saya mendengar cerita ini di aula John Calvin, dibawakan oleh Bapak Jimmy Pardede.

Nah, saya melenceng sedikit dari pembahasan kemarin. Walaupun bukan ini yang dibahas kemarin. Saya mengambil dari sisi lain. Dari sini bisa kita lihat bahwa melihat kenyataan pertama. Tidak mungkin Charles Martell menang. Tidak mungkin bangsa Frank menang. Keadaan bangsa itu baru saja terkena wabah. Penduduknya sangat sedikit. Tidak ada tentara. Penentunya adalah semangat juang yang tinggi. Bukan masalah SARA atau yang lain. Sebaiknya kita melihat. Kebanyakan orang tidak memiliki semangat juang. Memilih menyerah ketika dihadapkan pada kenyataan yang tidak sesuai harapan. Setelah semangat kita juga butuh siasat. Ketika kita melakukan segala sesuatu harus memiliki perencanaan yang matang dan siasat yang jitu.

Saya harap kita semua memiliki semangat seperti itu secara positif bukan bagi keuntungan diri sendiri atau kelompok tertentu, tetapi untuk menjadikan kita pribadi yang indah di mata Tuhan.


No comments:

Post a Comment