Hidup Lebih Baik

Saturday, January 2, 2016

Hadasa ( Episode 2 )

Sambungan cerita bersambung 31 Desember 2015

Sebelum senja mulai merambat, aku akan melewati lorong tadi. Yang kau lalui dalam sepi siang. Kamu ingat kan? Tepat di jalan besar, tempat kau merasa lega setelah memasuki gang sempit itu. Tengoklah sebentar ke sebelah. Di sana akan kau temukan pohon-pohon berdaun lebar yang berkerumun. Batangnya yang cokelat kasar mengingatkanku pada dinding rumah. Lihatlah, ada tanah lapang luas tersembunyi di dalamnya. Anak-anak sebaya kita berlarian dengan riang gembira. Jangan heran jika semuanya anak laki-laki. Bola dan layang-layang bersahabat di sini.

Aku tidak menyukai bola. Bagiku ia terlalu agresif dan kasar. Beberapa kali lambungannya mengenai kepala, kaki, tangan dan tubuhku.

Tapi layang-layang adalah favoritku. Untuknya aku rela berada di sini. Menghabiskan siang sampai sore turun dan pulang ke rumah. Jika kamu memandang sekeliling. Pandanganmu akan terpaku pada sebuah pohon besar berdaun kecil dengan akar berjuntai-juntai di ujung sana. Itu markasku. Tempat tersunyi dan jauh dari lapangan. Di sana aku bebas memandang angkasa. Penuh layang-layang! Untungnya tempat itu selalu kosong. Kurasa Tuhan membuatnya khusus untukku. Dan kau tidak boleh iri mendengar ini karena aku istimewa dimatanya. Suatu ketika seorang anak laki-laki melambai-lambaikan tangan kearahku. "Bolehkan aku minta tolong kamu untuk memegang sebentar layang-layangku? Aku agak lelah dan mau duduk sebentar."

Entahlah.. Kurasa ia berbohong mengatakan itu. Aku merasa ia sedang memberiku kesempatan memegang layang-layang yang sedang terbang tinggi. Yang jelas aku senang sekali. Lagipula hal itu terulang beberapa kali. Membuatku ingin memiliki layang-layangku sendiri. Menerbangkannya sendiri.

Aku memperolehnya dari nenek. Ia membeli di toko om Siang sepulang dari pasar. Semua orang memanggilnya begitu karena ia selalu bangun kesiangan.

Lalu dengan layang-layangku, apakah kau pikir itu berhasil? Tentu saja tidak! Aku sampai kelelahan berlari keliling lapangan. Dan layang-layang itu hanya sedikit lebih tinggi dari kepalaku. Bahkan kurasa ia membenciku dengan menukikkan dirinya ke tanah berulang-ulang.

Tiba-tiba seorang kakak berbadan tinggi mendatangiku dengan raut muka marah.
"Kau tau apa artinya 'bastard'*?"
Aku menunduk sambil menggelengkan kepala.
"Itu adalah sebutan untuk anak sepertimu", katanya berapi-api. Seorang anak laki-laki lain membelaku dihadapannya. Anak yang waktu itu mempersilahkanku memegang layang-layangnya. Aku menghela napas lega bisa menjauh dari kakak galak itu.

Senja telah tiba dan bayang-bayang pohon menjauh. Aku berlari pulang ke rumah dengan hati gundah. Memikirkan layang-layangku yang tidak mau terbang. Mungkin sebaiknya aku kembali seperti biasa. Mengamati dari markasku.

bersambung....



No comments:

Post a Comment